Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #42

41. Rahasia Indah

"Sabar."

Itu yang Matthew ucapkan saat melamar Lucia waktu itu. Dirinya akan sabar menunggu. Namun, pada kenyataannya siapapun tahu kalau satu kata itu jauh lebih mudah diucapkan ketimbang dikerjakan. Belum genap seminggu, ia sudah tak sabar ingin mengorek isi pikiran Lucia dan bertanya apa jawabannya, apa lagi entah mengapa belakangan ini Lucia terasa semakin tertutup, seolah menyimpan rahasia.

Dimulai saat empat hari lalu, saat pulang kerja, Lucia tertidur di dalam mobil. Lelap, tak seperti biasanya. Ponsel di pangkuannya bergetar, pertanda ada pesan masuk. Awalnya Matthew tak sengaja melihat. Ia sedang menengok, memandangi wajah Lucia sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Dalam sekilas pandang itu dia menangkap nama sang pengirim chat: Galih Pratipta. Sambil mencoba mengingat-ingat nama yang terasa asing namun di waktu bersamaan familier itu, ia kembali memandang jalanan di depan.

Galih, siapa itu?

Ia berpikir keras, mencoba mencari nama itu di antara orang-orang di perusahaan mereka, namun tak ada satupun wajah yang melintas di benaknya.

Ponsel Lucia bergetar lagi. Kedua kali ini, Matthew menengok dengan sengaja. Matanya menyipit membaca tulisan yang tampil di layar. Nama yang sama itu muncul, dengan pesan yang terlihat berisi, "Besok bisa?"

Dahi Matthew sontak berkerut, perasaannya diliputi ketidaknyamanan. Tetapi, lampu sudah berubah hijau, jadi ia harus fokus mengemudi dan merasa tidak sepantasnya memikirkan hal yang tidak-tidak. Meskipun demikian, rasa penasarannya terlampau membara untuk ditepis jauh-jauh. Masalahnya, tak seperti dirinya yang berhubungan langsung dengan klien dan orang-orang dari luar perusahaan, Lucia adalah orang di balik layar yang jarang berhubungan dengan orang-orang diluar kantor.

Jadi, siapa pria yang menanyakan 'Besok bisa?' itu?

Saat berjalan di gang menuju ke rumah, Matthew tak kuasa lagi menahan rasa penasarannya. "Hp kamu bunyi terus tadi, chat dari siapa?" tanyanya, sebisa mungkin agar tidak terlihat posesif, padahal rasa cemburu di hatinya sudah menyala-nyala.

"Oh," Lucia membuka kunci layar ponselnya, mengecek isi pesan yang Matthew maksud. "Temannya Anggi," sahutnya sambil mengembalikan ponselnya ke saku celana jeans-nya.

Temannya Anggi? Di dalam otak Matthew seolah terdengar bunyi gong kencang, pertanda ia mengingat sesuatu yang luar biasa. Ya, sekarang ia ingat siapa pria itu. Pria yang waktu itu sempat kencan buta dengan Lucia. Teman dari pacar Anggi. Pria yang hampir saja menempati posisinya sekarang sebagai pasangan Lucia. Ia tahu karena pernah mendengar Anggi menyebut-nyebut nama itu kepada Lucia beberapa kali. Meski tidak secara jelas, Matthew mendapat informasi itu samar-samar. Pria itu adalah orang yang Anggi jodohkan dengan Lucia sebelum mereka berpacaran.

"Kenapa dia nge-chat kamu?" tuntut Matthew, posesifnya kini tak terbendung. Nada suaranya lebih tinggi dari biasanya, matanya memancarkan kegelisahan dan tatapan yang tajam.

Sambil membuka pagar, Lucia melirik sekilas ke arah Matthew. Dia tidak bertanya kenapa Matthew terdengar seolah kenal orang itu—menyuarakan itu hanya akan membuat segalanya lebih rumit. Daripada terjebak dalam obrolan ini, lebih baik mencari cara untuk menghindarinya. "Ada urusan kerja," ujarnya sambil mengusap lehernya yang pegal, "nanti aku jelasin, ya. Aku capek banget hari ini, mau mandi dan tidur."

Meski kegelisahan masih menggerogoti hatinya, Matthew menyadari tak pantas mendesak Lucia yang jelas-jelas sedang kelelahan. Sepanjang perjalanan tadi, Lucia benar-benar tertidur pulas—padahal biasanya di mana ia hanya memejamkan mata tapi tetap sadar. Kekasihnya ini memang terlihat sedang kehabisan tenaga karena pekerjaannya yang melimpah akhir-akhir ini, dan barusan dia bilang pria itu menghubungi untuk urusan pekerjaan—tak etis rasanya mendesak orang yang sedang lelah bekerja, menjelaskan pekerjaan apa yang terkait dengan pria itu.

Merasa tak tega karena wajah Lucia yang lesu dan lelah, Matthew mengelus lembut bagian belakang kepala Lucia dan mengecup keningnya. "Ya sudah, istirahatlah. Good night," katanya melepas Lucia masuk. Menekan kuat-kuat rasa cemburu yang siap menyembul.

Namun keesokan harinya, Lucia justru bertingkah lebih aneh.

Dia yang biasanya fokus bekerja di mejanya, tak bergerak kecuali memang benar-benar diperlukan, tiba-tiba bergegas keluar ruangan hanya untuk menerima panggilan telepon. Matthew mengikuti geraknya dengan pandangan mata yang penuh tanya dan curiga. Tapi... jika dia menanyakan hal sepele ini, bukankah itu akan membuatnya terlihat posesif dan berlebihan? Ia tidak ingin di mata Lucia ia terlihat seperti pasangan yang pencemburu buta, apalagi dengan usia mereka yang terpaut jauh—ia sudah selalu berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang dewasa. Jadi, lagi-lagi ia memilih diam, meski bayang-bayang cemburu terus mengikuti pikirannya.

Yang membuatnya semakin tidak tenang, keesokan harinya—yaitu kemarin—Lucia tiba-tiba mengabari bahwa ia mengambil cuti dadakan. "Ada urusan," katanya, urusan yang belum bisa dia jelaskan sampai hari ini. Lucia tiba di rumah, satu jam setelah Matthew. Saat ditanya ke mana dan urusan apa, jawabannya tetap sama: "Nanti aku jelasin, ya."

Sekali lagi, kalimat itu diucapkan, dan sekali lagi Matthew tidak bisa menggali lebih dalam. Tak tega melihat wajah lelahnya.

Tapi hari ini, begitu sampai di kantor, Lucia langsung menemui David di ruangannya. Diam-diam Matthew mengawasi berapa lama jarum jam sudah berputar sejak dia bilang ada urusan sebentar dengan David. Lucia di sana sudah cukup lama, bahkan bagi Matthew yang gelisah menunggu, terasa terlalu lama. Saking resahnya ia tak bisa fokus dengan pekerjaan di depan matanya, berkali-kali melirik jam tangannya, dan menaik-turunkan lututnya di bawah meja. Dan akhirnya ia memilih bangkit dari kursi, bergerak menuju sisi lain kantor, berdiri di lorong tepat di depan pintu ruangan David.

Punggungnya bersandar di dinding, tangannya terlipat di depan dada, dan kakinya bersilang. Sebuah pose yang seolah menunjukkan sikap santai, padahal dalam dadanya, jantungnya berdenyut tak karuan. Ingin sekali menyerbu masuk ke ruangan itu. Bahkan dirinya yang selalu ramah dan murah senyum pada siapapun itu, hanya membalas sapaan orang yang lewat dengan anggukan dingin. 

Lihat selengkapnya