Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #43

EPILOG 1

Beberapa bulan kemudian...


Lucia duduk tegak di sofa, kakinya menyilang elegan, bahunya bersandar ke bantalan. Sambil menghela napas, ia memijat pelipis di atas matanya. Di sampingnya, ponsel terus bergetar, pesan dari Matthew membanjiri bilah notifikasi. Padahal Lucia sudah meyakinkan bahwa tidak perlu khawatir, dan tidak perlu terburu-buru pulang. Kini, di dalam mobil, suaminya yang sedang bersama ayah mertuanya itu pasti diliputi kegusaran dan kecemasan.

Padahal, yang seharusnya mereka khawatirkan bukanlah Lucia, melainkan justru ibu dan adiknya. Keduanya sejak tadi terdiam, menunggu Lucia melontarkan basa-basi lebih dulu, tetapi jelas Lucia tidak mengatakan apa pun. Sorot matanya yang dingin dan tatapannya yang acuh tak acuh membuat wajah ibu Matthew memerah bagai tomat busuk. Merasa tak dihargai.

“Kamu minta Matthew buru-buru pulang karena saya ada disini?” tuduh Dini, mengamati ponsel Lucia yang terus menerus bergetar.

“Nggak,” sahut Lucia santai. “Aku malah minta dia jangan buru-buru pulang.”

Alis Dini bertaut, tingkah menantunya ini benar-benar tak masuk ke dalam daftar sikap yang seharusnya ia terima.

“Kamu itu, enam tahun lebih tua dari Matthew kan? Kamu yang hasut dia buat nikahin kamu? Terus minta nikah diam-diam dan gak undang siapa-siapa kayak gitu?”

Tak langsung menjawab, Lucia melirik ke Max, adik Matthew yang duduk di samping ibunya. Semula ia berpikir apa pantas membicarakan hal seperti ini di hadapan Max, tapi anak itu, tampaknya beberapa tahun lebih tua dari Adam, bahkan mungkin sudah lulus SMA. Dia juga kelihatan sibuk memainkan game di ponselnya, sejak datang tadi matanya hanya tertuju ke layar, dan kedua telinganya tertutup headphone besar. Menunjukkan bahwa dirinya tak peduli dengan apa yang terjadi di depan matanya, bahwa dirinya ada disini saat ini hanya karena terseret oleh ibunya.

Jadi Lucia memutuskan untuk tak menahan-nahan apa yang mau keluar dari mulutnya.

“Ya, saya enam tahun lebih tua. Tapi saya nggak hasut Matthew, dia yang mau nikah. Dan...tolong tante koreksi, kita nggak nikah diam-diam, kita ngundang orang-orang terdekat, cuma tante nggak diundang, soalnya kata Matthew nggak perlu.”

Dini langsung keluar tanduk, hidungnya mengembang bak banteng siap mengamuk. “Kamu pikir saya percaya sama omongan kamu itu? Matthew masih muda, mana mungkin dia mau nikahin kamu.”

Lucia mengedikkan bahu, bibirnya mengerucut. “Nggak tahu deh, nanti tante tanya aja kalau Matthew udah pulang.”

Dini sontak memegang leher belakangnya yang tegang karena aliran darahnya terganggu. Tekanan darah tingginya pasti kumat lagi gara-gara emosi. Dia tak habis pikir kalau bisa punya menantu model begini. Boro-boro lemah lembut atau santun, sikap acuh tak acuhnya yang seakan tak kenal takut ini benar-benar tak masuk akal. Padahal seingatnya Matthew anak yang perasa dan lemah lembut, tapi kenapa menikah dengan wanita seperti ini.

Dia bahkan tak dikabari, ia baru tahu kemarin, dari kerabatnya yang mendapat kabar pernikahan Matthew lebih dulu. Pernikahan yang dilakukan secara sederhana dan cenderung tertutup bulan lalu itu, dia sama sekali tak tahu.

Ya, Matthew dan Lucia memang memutuskan menikah tanpa resepsi. Mereka hanya menuntaskan persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan agar tercatat sebagai pasangan resmi di data negara. Lalu mengadakan acara makan kecil-kecilan, yang hanya dihadiri beberapa orang, yang tentunya Lutva, Adam, Hadin, Dito, Anggi, ayah Matthew yang baru keluar dari penjara, dan Rano—paman Matthew, juga beberapa orang dari divisi Matthew seperti Rafael dan Wina.

Matthew sendiri yang bilang tak perlu mengundang ibunya dan Max. Ia enggan mengubah acara membahagiakan menjadi menyebalkan karena kehadiran ibunya.

Dan entah bagaimana berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Dini, dia dengan kemampuannya menelusuri informasi, sampai ke rumah ini, rumah lantai satu Lucia yang ditempati bersama Matthew sejak sebulan lalu. Datang untuk menyergap Lucia yang sendirian karena dia tahu Matthew sedang tak ada di rumah hari ini karena sedang menemani papanya ke kampung neneknya sejak kemarin. Berniat untuk mengintimidasi, berniat membuat menantunya ini tersudut dan takut. Tapi ternyata perhitungannya salah. Anaknya bukannya menikahi wanita lugu yang lemah lembut, tapi seorang yang dingin dan tak kenal takut.

“Kamu emang nggak sopan kayak gini kalau ngomong sama orang tua?” hardik Dini.

Lucia menggeleng, “Nggak, saya emang kayak gini ke siapa aja.”

Dari sudut matanya, Lucia menangkap bibir Max menyunggingkan senyum. Ah, anak ini rupanya sejak tadi mendengar, hanya pura-pura tak mendengar. Sekilas ia terlihat mirip Matthew, ya bagaimana juga dia adiknya, dan nampaknya kepribadian mereka juga tak jauh berbeda. Dilihat dari dirinya yang malah tersenyum saat ibunya kalah telak melawan ucapan Lucia. Nampaknya hubungannya dengan ibunya juga tak seakur yang Lucia kira.

Lihat selengkapnya