Lutva berdiri tegak di depan pagar rumah, kedua tangan bertolak pinggang, sebuah pose yang menunjukkan otoritas dan ketidaksenangan yang kentara. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah mantan suaminya yang berdiri di luar.
Pria itu terlihat lusuh dan tak terawat. Janggut tipisnya tumbuh tak beraturan, pakaiannya kusut, dan ada lingkaran gelap samar di bawah matanya. Lutva masih ingat betul saat terakhir mereka bertemu, ketika pria itu meninggalkannya untuk menikah dengan selingkuhannya; kala itu, mantan suaminya masih tampak tampan, rapi, dan muda. Namun, kini pemandangan itu terasa terbalik. Pria itu, yang usianya seharusnya lebih muda darinya, tampak jauh lebih tua, seolah kehidupan telah menguras semua vitalitasnya hingga kering. Kontras antara kenangan dan realitas yang dilihat Lutva sangat mencolok, menguatkan keyakinannya bahwa keputusannya saat itu adalah yang terbaik.
"Ngapain lu kesini?" tegur Lutva tanpa basa-basi.
"Aku, aku mau nengokin Adam," sahut Tomi, kebohongan jelas terlukis di wajahnya.
"Cih!" cibir Lutva, bibirnya melengkung sinis. "Lu ngarep gue percaya? Nengokin Adam lu bilang? Bertahun-tahun lu nggak pernah nongol! Malah istri lu yang dateng kesini beberapa bulan lalu. Kalau nggak diamuk Lucia, pasti dia udah bikin ribut di sini minta tabungan lu yang masih gue pegang! Karena jelas-jelas lu bilang itu buat biaya sekolah Adam!"
Tomi menunduk, menghindari tatapan Lutva. "Aku udah cerai sama dia."
Lutva tertawa kecut. "Ya terus? Apa urusannya sama gue!"
"Boleh aku tinggal di sini sementara?" Tomi memohon dengan wajah memelas, mata penuh harap.
Alis Lutva langsung bertaut tak habis pikir. Rasa jijik dan kaget bercampur aduk. "Gue bingung kenapa dulu gue bisa nikah sama lu!" gumamnya sarkastis, bergegas hendak menutup pagar.
Tapi tangan Tomi bergerak cepat, menahan pergelangan tangan Lutva. "Please, Va, gimana juga kan aku Papanya Adam!"
"PAPANYA ADAM LU BILANG?" bentak Lutva, suaranya meninggi penuh amarah. Ia menghempas tangan Tomi kencang-kencang. "Adam itu anak gue! Anak gue seorang! Pergi nggak lu sebelum gue panggil Pak RT!" ucapnya lebih pelan, namun dengan penekanan yang lebih berat dan mengancam. Ia takut Lucia di dalam rumah mendengar keributan itu, adiknya itu pasti sedang bermesraan dengan suaminya yang baru pulang, setelah insiden kedatangan ibu mertua yang mirip nenek sihir. Lutva tak ingin membebani adiknya.
"Lutva, please!" Tomi meraih tangan Lutva lagi, memohon dengan putus asa.
"Lepasin!" tolak Lutva, mengibas-ibaskan tangannya, namun genggaman Tomi yang erat tak kunjung terlepas. "Lepasin!" Mata bulat Lutva melotot. Merah, dipenuhi amarah yang meluap-luap.
Namun sedetik kemudian, tubuh Tomi tertarik mundur dengan paksa. Yang kini berdiri di hadapan Lutva justru Dito. Pria yang selama beberapa waktu terakhir hanya Lutva pandang dari layar ponselnya, lewat akun media sosialnya yang memamerkan perjalanan keliling dunia sendirian, kini tiba-tiba muncul di hadapannya dan terasa hampir tak nyata. Dito yang ia ingat saat pernikahan Lucia adalah sosok yang jauh berbeda dari dirinya yang dikenal Lutva; datang dengan penampilan smart-casual yang matang, jaket blazer mahal, dan sikap yang jauh lebih dewasa serta pendiam, sebuah kontras dari Dito yang ia kenal sebelumnya—penampilan itu terus terbayang-bayang dalam benaknya sejak hari itu.
"Eh, kurang ajar, siapa lu!" hardik Tomi, hendak menyambar bahu Dito. Namun, dengan gerakan cepat, Dito menyambar leher Tomi lebih dulu. Tubuhnya yang lebih tinggi, dan tangannya yang lebih panjang, membuat Tomi tak bisa berkutik dalam kuncian Dito. Ia mirip boneka voodoo yang dicekik sebelum ditusuk.
"Siapa dia, Kak?" tanya Dito, berpaling memandang Lutva yang terkesiap. Tatapannya tegas, mencari konfirmasi.
"Mantan suami gue," jawab Lutva kemudian, entah mengapa ia merasa canggung, tidak berani menatap langsung mata Dito.
"Mau diusir, kan?" Dito memastikan, suaranya tenang, takut jika ia salah bersikap di depan Lutva.
Namun, ketika Lutva mengangguk, Dito tak ragu lagi. Tas karton besar yang semula dijinjing di tangan kanannya dijatuhkan begitu saja ke tanah. Tangannya itu bergabung dengan tangan yang lain, mencengkram erat bahu Tomi dan mendorongnya mundur beberapa langkah.
"Pergi, kalau nggak mau gue laporin polisi! Gue bisa bikin lu masuk penjara dan nggak keluar lagi," bisik Dito di samping telinga Tomi. Suaranya pelan dan mengancam, tidak terdengar sampai tempat Lutva berdiri.
Tomi memandang dengan tatapan emosi yang bergejolak. Namun, matanya yang tajam dan mengenali merk-merk mahal, langsung menangkap perkiraan harga dari baju, sepatu, jam tangan, dan segala benda yang menempel di tubuh Dito saat ini. Ia emosi, ia merasa tersinggung, tapi dia masih bisa berpikir logis. Pria di hadapannya ini, meski kelihatan muda, jelas orang berada. Dan hidup di negara yang menempatkan uang sebagai kuasa, Tomi tahu dirinya lebih baik tak mencari gara-gara.
Ia pun mengangkat kedua telapak tangannya setinggi telinga, mendeklarasikan kekalahan dan langsung bergerak mundur saat Dito melepaskan cengkraman di bahunya.
"Aku pergi dulu," pamitnya ke Lutva, yang jelas tak akan disambut hangat.