Fiksi
🌾🌾🌾
Segunung asa selalu tercipta untuk tetap tegar menghadapi kehidupan yang fana, berjuta sesak kadang menjadi teman setia seolah enggan pergi. Begitulah warna hidup.
🌾🌾🌾
"Hai, kamu sini! Jangan pergi!"
Banyu memandang tajam gadis yang tadi nyaris tertabrak motor gedenya.
"Aku enggak akan pergi, karena kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan," gadis itu protes matanya memandang sengit ke arah pemuda berwajah putih, dan berjambang lembut yang telah membuatnya nyaris tersungkur di jalan raya. Rasa kesal memenuhi batinnya, wajah gadis itu memerah menyimpan marah.
"Kamu yang bersalah kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" Banyu tidak mau kalah, berdiri di sisi motor kesayangannya.
"Aku yang salah?" Rasa kesal makin membuncah memenuhi benak gadis itu, tak berkedip netra bening bagai air terjun itu menghujani sosok tegap yang sedang berkacak pinggang.
"Ya, kamu yang salah. Kamu jalan semaumu sendiri, harusnya jalanmu lebih ke pinggir enggak usah di atas aspal," Banyu menjawab dengan keras. Gayanya begitu yakin jika ia tidak bersalah.
"Aku sudah berjalan dipinggir dan disebelah kiri, kamu yang tiba-tiba nyeruduk seperti banteng lapar. Untung aku sempat mengelak, sampai nyaris jatuh. Alhamdulillah aku tak jadi korban kebrutalanmu." Merasa tidak bersalah gadis berkerudung hijau muda itu menyangkal tuduhan Banyu. Suasana makin panas keduanya beradu mulut dengan sengit.
"Ah, sudah. Aku buru-buru, ada urusan penting."
Banyu pergi meninggalkan gadis berhidung mancung yang masih diliputi rasa jengkel.
"Hai, jangan pergi!" teriak gadis itu dengan keras, Banyu terus tancap gas tanpa menoleh.
Gendis menarik napas panjang, entah dari mana datangnya manusia seperti itu, tiba-tiba muncul dan nyaris membuatnya celaka, lalu pergi begitu saja tanpa kata maaf. Dengan wajah kesal Gendis melanjutkan perjalanannya, ia harus segera sampai di rumah, karena ibu dan kedua adiknya pasti sudah menunggu.
Jilbab lebarnya berkibar tertiup angin, langkahnya cepat dan ringan seperti kijang. Matahari sore tak mau ketinggalan, dengan cahaya yang mulai redup menemani perjalan gadis berwajah cantik itu. Hidungnya yang mancung basah oleh keringat, kulit mukanya yang bersih agak memerah terkena sinar matahari. Gendis mempercepat langkahnya.