Malam ini, langit kota Tinggi memilih untuk tidak bersahabat denganku. Hujan deras mengguyur secara tiba- tiba di jam 10 malam. Tepat saat aku melangkah keluar dari toko alat tulis dan mengepak kantong belanjaan.
Air itu mengalir deras dari teras beton bagian depan. Terus turun sampai bawah dalam jumlah banyak dan membanjiri jalan.
Dari tempatku berdiri, kulihat kendaraan mulai memperlambat laju mereka. Sangat kontras dengan keadaan orang- orang yang berlarian panik dari arah trotoar.
Tatapanku turun ke bawah, ke benda besi berlapis kain hitam di tangan kiriku. Hari ini Alex bertindak tidak biasa. Dia sampai membentakku di depan pintu rumah, saat aku tidak mengindahkan kata- katanya.
Hingga akhir, adikku terus memaksa agar aku membawa payung kebesaran miliknya. Aku sama sekali tidak menyangka sarannya akan sangat berguna. Kupikir Alex sedang mengerjaiku.
“Apa dia mulai peduli?” Kumiringkan kepalaku setelah kusadari pertanyaanku sendiri. Seorang Alex? Peduli? “Itu tidak mungkin.”
Kepalaku menggeleng penuh sangkalan, bibirku mengendus sarkas, tanganku bergerak membuka gagang payung dan memakainya. Meski aku bertindak tak peduli, kenyataannya hatiku berharap dugaan tadi benar- benar terjadi.
Menyedihkan memang. Mana ada seorang kakak yang ingin adiknya berubah lebih perhatian? Sedikit saja respons dari Alex, selalu bisa membuatku bahagia. Seperti anak kecil yang mendapat lencana penghargaan, hadiah spesial atau piala, tindakan sederhana adikku sering membuatku tidak punya harga diri dan berharap lebih.
Aku agak bermimpi hubungan kami bisa berubah layaknya saudara kandung yang lain. Kakak- adik penuh kasih yang bisa berbagi isi hati. Saling mendengarkan, saling percaya. Seperti teman dekat, seperti soulmate.
Itu tidak muluk kan? Hanya saja, setiap kali keinginan itu berkaitan dengan Alex, semua jadi terasa mustahil.
Dengan satu kantong belanja di tangan kiri dan payung di tangan kanan, kutelusuri trotoar sempit di jalan utama kota. Mataku terus menatap ke depan, ke arah orang- orang yang berlalu menerobos hujan sementara isi kepalaku berpetualang ke masa lalu.
Selama yang kuingat, Alex tidak pernah berlaku dekat. Bahkan terkadang, dia seperti tidak peduli dengan keberadaanku. Asal aku memberinya uang, tempat tinggal dan makanan enak, dia akan jadi anak penurut dan diam. Tidak pernah ada yang namanya kepedulian atau pengakuan.
Tapi hari ini berbeda, sepertinya perubahan yang kutunggu- tunggu akhirnya datang juga.
[ Di mana? ]
Pesan yang baru saja masuk ke ponselku membuatku menarik bibir. Kurasa berita kriminal yang akhir- akhir ini menghebohkan kota, berhasil membuat adikku jadi lebih perhatian.
Tiga hari lalu ada seorang wanita yang dikabarkan meninggal karena di serang orang tidak di kenal. Kemarin malam, ada delapan karyawan studio animasi yang terkonfirmasi menghilang dari tempat tinggalnya. Semua kejadian itu terjadi di daerah ini, sekitar 800 meter ke utara dan 1,2 kilometer ke selatan.
Kota baru yang dulunya di kenal sebagai tempat teraman dan terbaik di negara ini, sepertinya tidak bisa mempertahankan nama lagi.
Rumor yang kudengar, semua terjadi karena orang- orang ilegal yang masuk dari jalur belakang. Tapi aku sendiri tidak yakin. Cerita itu terdengar seperti mitos, terutama bagi aku yang lahir dan besar di sini.
Aku bahkan tidak pernah melewati perbatasan. Paling mentok, aku hanya pergi ke Pusat Studi- perpustakaan besar yang berada di sisi barat kota, dekat dengan Waduk Besar yang memiliki pemandangan indah seperti lukisan.
[ Lampu merah.]
Kubalas pesan dari adikku sesingkat mungkin. Meski aku senang Alex mulai peduli, aku tidak mau membuat dia tidak nyaman lagi. Jika adikku telah membuat batas, aku akan lakukan sesuai keinginannya.
***
Kumasukkan benda tipis itu ke kantong jaket sebelah kiri. Udara dingin terasa sejak sore, tapi aku tidak menyangka akan di sambut hujan badai saat pulang.
Di ujung trotoar, kakiku berhenti dekat garis pembatas. Aku berdiri dengan sabar, menunggu sampai rambu hijau berubah menjadi merah.
Rumahku tidak jauh dari jalan di seberang sana. Hanya satu kali belokan, melewati sekitar tiga gang, kemudian masuk 50 meter ke dalam. Apartemen sederhana berlantai lima yang di tinggali 7 keluarga. Rumahku ada di lantai 3. Berisi empat kamar tidur dan satu kamar tamu tambahan.
Seharusnya kami tinggal bersama orang tua kami juga, tapi setelah kecelakaan yang menimpa Papa, setengah tahun lalu mereka memilih untuk tinggal di tempat lain. Di bagian utara kota ini, sembari mengurus bisnis keluarga.
Di rumah, aku hidup bersama Alex dan kakakku Sarah. Meski begitu, hubungan kami dengan kedua orang tua kami cukup baik. Mama dan Papa selalu datang saat akhir pekan tiba. Mereka akan mengajak kami jalan- jalan, membelikan kami barang atau sekedar memasak makan malam kemudian berbincang tentang ini – itu selama satu minggu yang kami jalani tanpa mereka.
Dari keduanya, Mama yang paling sering menghubungiku. Memanggilku hampir tiga kali seminggu di antara jam malam. Walau sebagian besar dari panggilannya hanya berisi curhatan Mama tentang betapa protektifnya Papa.
Aku sering tertawa saat ia berkata seperti itu. Bukan karena aku peduli, bukan juga karena aku terhibur, tapi karena aku ingin menghilangkan rasa tidak nyaman di dadaku. Perasaan rindu dan ketidakadilan dari keputusan yang mereka buat.
Aku sering merasa diriku kekanakan. Seseorang yang hampir berusia 20 tahun, bagaimana bisa masih merindukan orang tuanya? Bagaimana bisa masih ingin menghabiskan waktu bersama?
Aku tidak mungkin menuntut mereka. Aku juga tidak bisa mengatakan hal ini pada kedua. Tidak, ketika Alex dan Sarah tidak mengeluhkan apa-apa.
Setiap kali perasaan seperti itu muncul, aku lebih suka mengalihkan diriku ke hal lain. Seperti mempelajari kebiasaan baru yang berkaitan dengan dua bidang yang kusukai: menggambar dan membaca buku.
Beruntungnya karena kebiasaan itu, aku akhirnya mendapat pekerjaan tetap satu tahun yang lalu. Sebuah situs komik lokal merekrutku menjadi komikus kontrak di perusahaan mereka, dan sejak itu aku dapat pemasukan rutin setiap bulan.
Bayarannya lumayan untuk seseorang yang hanya lulusan sekolah menengah. Aku bisa mencukupi kebutuhan rumah dan uang jajan Alex.
Kurasa tidak banyak orang yang seberuntung diriku, karena itu juga aku mempertahankan pekerjaan ini. Meski terkadang aku bisa merasa bosan juga.
***