Sekeping Ingatan

Yue Andrian
Chapter #2

BAB 2 : Ketika Bulan Bertemu Sang Fajar

“Seberapa keras kamu mencoba lari, apa yang ditakdirkan untukmu pasti akan kembali.”

***

‘Hah?” Aku mengendus.

Apa-apaan itu tadi?’

Baru kali ini aku bertemu seseorang yang punya kepercayaan diri sangat tinggi. Ah, tidak. Aku pernah bertemu orang yang mirip. Dia mengingatkanku pada Sarah. Kakak perempuanku.

Sarah jarang ada di rumah, tapi saat kembali Sarah lebih sering membuat masalah denganku dari pada tidak. Hobinya adalah menghabiskan uang, berfoya-foya dan akhirnya pulang dengan penuh kepercayaan diri seolah dia baru saja melakukan pekerjaan besar di luar sana.

‘Aku benci kakak perempuanku!’ Aku bisa mengatakan itu berkali- kali. Sebanyak Sarah membenci kehadiranku, aku juga tidak berharap dia ada.

Hari- hari kami selalu penuh pertengkaran dan perang dingin. Bahkan saat kami berdua terpaksa menjaga sikap, entah itu di depan publik atau di depan rekan kerja orang tua kami, Sarah selalu melakukan sesuatu yang membuatku kesal dan ingin menamparnya.

Mama sering berkata kami mirip, tapi aku tidak pernah setuju dengan itu. Kesamaan kami hanya ada tiga: keras kepala, prinsip yang kuat dan tidak mengenal kata ‘kalah’.

Terkadang Sarah bisa terlihat dewasa. Dia juga bisa mengalah dan bersikap bijak di saat tertentu, tapi aku tidak percaya Sarah berubah. Terlalu sering hal seperti itu terjadi. Saat Sarah tiba- tiba berubah baik, tidak lama hal buruk pasti menimpaku. Seolah dia sengaja mengalah hanya untuk membalasku di saat-saat yang paling membuatku jatuh.

Karena hal itu juga aku makin tidak tahan dengannya. Sarah tidak pernah berperilaku selayaknya kakak. Dia tidak pernah berupaya membuat dirinya pantas berada di posisi itu. Seseorang yang lahir lebih dulu, seseorang yang seharusnya bisa aku dan Alex hargai juga hormati.

Jika ku ingat lagi, dari semua orang, aku paling merasa kasihan pada Alex. Setelah orang tua kami pindah, Alex-lah yang menjadi penengah pertengkaran kami.

Aku sering merasa bersalah karena dia harus berada di posisi itu. Di usianya yang masih muda, dia harus menjadi orang bijak yang bisa berdiri diantara kami berdua. Tapi aku juga tahu, jika Alex tidak ada, jika suatu saat nanti dia akhirnya memilih hidup mandiri dan meninggalkan rumah ini juga, ada kemungkinan bayangan di kepalaku akan menjadi nyata. Aku dan Sarah pasti akan saling bunuh.

Tes!

Tes!

Tes!

DUARR!!!

Suara air yang menetes dari ujung payungku beradu dengan suara petir di belakang. Aku hanya berkedip satu kali dan pikiranku ditarik kembali ke kenyataan.

Mataku tengah menunduk ke bawah. Menatap percikan air dari konblok yang melompat tak beraturan hingga mengenai betis depanku. Ku perhatikan bagaimana butir- butir itu membasahi sepatu ketsku. Sepatu berwarna putih dengan garis biru yang kubeli sepasang di hari ulang tahun Alex, bulan lalu.

“Huh!”

Aku mendesah lelah. Bukan karena hujan yang masih mengguyur deras, tapi karena hal lain. Ada perasaan aneh yang tiba- tiba mengganjal di dadaku dan membuatku tidak nyaman.

“Apa yang terjadi?”

Meski aku membisikkan kata- kata itu, jawabannya masih tidak kutemukan. Jantungku terus berdetak gelisah dan aku merasa sesuatu yang buruk akan datang.

Akhirnya, dengan langkah ragu aku memilih untuk melanjutkan perjalananku. Satu langkah, dua langkah. Perlahan kuangkat kepalaku. Pandanganku kembali ke arah trotoar di depan. Tempat itu kini sepi. Sosok yang tadi mengajakku makan telah menghilang. Jejaknya bahkan tidak terlihat dari tempatku berjalan. Mungkin dia sudah masuk ke dalam toko atau mungkin dia justru kabur entah ke mana.

‘Aku tidak terlalu peduli.’ Ku katakan itu pada diriku sendiri.

Jujur saja, aku tidak tertarik dengan ajakannya. Logikaku menuntunku agar berhati-hati dan menghindar. Bagiku, akan lebih baik jika aku tidak terlibat lebih dalam dengan orang asing aneh yang sangat mencurigakan, tapi…

Ku tatap layar ponselku lagi. Seumur hidupku, aku tidak pernah menolak permintaan Alex. Jika aku menolak pesanan adikku hanya karena orang ini, entah kenapa aku merasa seperti seorang pecundang.

Toko pizza tidak jauh dari sini. Sekitar dua puluh langkah ke depan sana, ada restoran kecil dengan teras sederhana serta deretan kursi kayu yang akan menyambutku. Aku sering ke sana. Terkadang hanya seorang diri, terkadang bersama Alex saat dia dalam mood yang baik. Tidak banyak menu di tempat itu, tapi rasa dan harganya lumayan untuk kantong kami.

Aku hampir sampai. Mataku menatap ke atas papan roti. Bentuknya yang seperti pizza terpotong enam terlapisi lampu hias kecil yang kini berkedip- kedip, seolah memanggilku untuk mampir.

Ku hembuskan nafas berat. Perasaanku masih berkecamuk, tapi mau tidak mau aku harus masuk ke dalam. Seandainya-pun aku harus bertemu laki- laki aneh tadi, setidaknya aku tidak akan sendirian. Jika dia mencoba melakukan sesuatu, aku bisa meminta tolong karyawan di sana.

‘Oke, itu ide yang bagus.’

Tapi… tunggu dulu. Kenapa aku jadi penakut seperti ini? Kenapa aku begitu waspada hanya karena seorang laki- laki asing? Lagi pula, belum tentu juga orang itu akan melukaiku kan? Dia mungkin hanya orang gila yang lewat dan bicara macam- macam. Bisa saja semua kejadian tadi hanya kebetulan.

‘Yah, bisa saja begitu.’

Saat aku tengah memikirkan itu, pandanganku tertarik ke arah benda unik di depan. Tepat di jarak yang lebih dekat, ada papan neon box berwarna putih kebiruan dengan huruf Arial bercetak tebal. Di dalamnya tertulis kata ‘MOON’ berwarna perak. Papan itu terlapisi lampu hias aneh yang seolah bergerak memutar.

Alisku mengerut melihat bentuknya. Di bagian ujung yang tampak seperti ditambal asal, ada rangkaian besi yang berbentuk seperti tangan tengah menunjuk. Tanpa ku sadari mataku telah bergeser sendiri ke arah yang di tunjuk papan itu. Ke tempat bangunan mungil di sebelah kiriku yang memiliki logo sama dengan papan neon.

Huruf ‘MOON’ menghiasi dinding putih polos tanpa jendela di lantai dua. Tercetak tebal dan di hiasi gambar bulan yang indah. Aku memiringkan kepala karena kagum, dan tanpa ku sadari kakiku telah berhenti berjalan. Tubuhku bergerak sendiri, memutar tumitku hingga aku berdiri menghadap bangunan itu.

Bentuk gedung itu sederhana. Bagian depan mirip caffe minimalis berukuran sekitar 4 sampai 5meter dengan halaman berumput sempit dan teras kecil berundak yang terbuat dari kayu.

DUARR!!

Suara petir kembali terdengar. Secara kebetulan, cahaya kilat yang terang menyala bersamaan dengan dua lampu sorot di bagian bawah bangunan itu. Kedua lampu itu bergerak sendiri, menunjuk ke dinding atas hingga ujung-ujungnya bertemu di bagian tengah. Tepat di bagian logo ‘MOON’ dan gambar bulan.

Efek sinar lampu mengakibatkan bagian itu bersinar aneh. Seolah logo itu terbuat dari kristal yang memantulkan bias cahaya indah. Aku berkedip dua kali karena terpana. Tempatku berdiri sekarang dikelilingi oleh pantulan unik itu. Lingkaran- lingkaran cahaya kecil berbagai warna dari merah, kuning, hijau, biru, hingga ungu. Semua bertaburan seperti orbs, seperti kunang- kunang.

Air hujan yang masih mengguyur deras memberi efek tambahan pada pantulan cahaya itu. Lingkaran di sekitarku terlihat seperti hidup, seperti bergerak sendiri. Seolah lingkaran itu tengah menari tak beraturan di sekelilingku.

Aku tersenyum. Aku mengendus senang. Tidak pernah dalam hidupku aku melihat kejadian seindah ini. Rasanya seperti semua masalahku hilang dan aku merasa bebas. Detik itu juga aku merasa sangat bahagia.

Ting, ting, ting, ting.

Tidak lama pendengaranku menangkap suara familiar. Petikan piano bernada lembut dan menenangkan. Lagu itu mirip seperti musik pengantar tidur yang sering kudengar waktu kecil.

Lihat selengkapnya