“Hah! Hah! Hah!”
Sekarat dan lelah, adalah dua hal yang menggambarkan keadaanku sekarang. Nafas tak beraturan, dada berdetak kencang. Suara detup jantungku terdengar hingga mencapai gendang telinga. Berderu keras dan membuatku hampir tuli.
Kakiku terasa lemah dan otot-otot di kulitku berdenyut tidak nyaman. Selain itu semua, tubuhku juga terasa sangat panas. Peluh memenuhi sekujur tubuh, bercampur dengan air hujan yang menempel erat pada pakaianku.
Aku tidak kuat lagi. Akhirnya aku memilih menyandarkan punggungku ke tembok dingin di belakang. Bertopang padanya sebelum badan ini benar- benar runtuh.
Jujur, aku agak menyesali cara hidupku selama ini. Jika saja aku lebih rajin berolahraga dan mau mendengarkan saran Mama, ada kemungkinan aku tidak berakhir begini.
“Apa kalian mendengarnya?”
Gadis berkemeja putih yang berdiri di samping kiriku berbisik lirih. Aku merapatkan bibirku untuk menajamkan pendengaran, tapi hal itu tidak berhasil. Keadaanku masih belum pulih benar. Yang ada, aku justru makin mendengar dentuman keras dari arah dadaku sendiri.
‘Yuki.’ Aku menutup mataku, mengatur nafas agar lebih stabil.
Nama itu terdengar tidak asing. Aku sangat yakin aku belum pernah keluar dari kota ini, juga negara tropis ini. Tapi entah kenapa saat nama itu terdengar, terlintas di depanku sebuah pemukiman sepi di tengah musim dingin.
Aku berdiri di jalan setapak yang tertutupi salju tinggi. Di depanku ada seorang gadis tengah menatapku. Rambutnya hitam panjang. Dia memakai sweeter setinggi leher yang terlapisi jaket hitam tebal. Tak lama kami-pun berlari. Sama seperti hari ini, kami berlari dari sesuatu yang tidak terhindari.
Satu waktu dia meminta padaku saat kami berdua memandang ke atas langit yang di penuhi bintang. Dia ingin bertemu seseorang, dan aku berpikir hanya aku yang bisa mengabulkannya.
'Apa orang ini sosok yang sama? Atau aku hanya mengada- ada?'
“Dengar!” Dia terus berbicara sendiri saat tidak ada yang mempedulikan.
Aku kembali fokus pada pernapasanku. "Huuhhh.. Haahh! Huuhh... Haaahh!"
Setelah agak lama buka perlahan kelopak mataku hingga terbuka. Saat ini kami berhasil kabur. Aku dan dua rekan perjalananku tengah bersembunyi di sudut basemen sepi. Tempat ini memiliki penerangan yang terbatas. Cahaya hanya berasal dari lampu bolam kecil dari atas langit- langit tangga (tempat yang berada di pojok kanan ruangan) serta dari cahaya kilat di luar pintu masuk.
Cahaya itu memantul ke dinding polos di seberang gang, hingga membuat tempat kami bersembunyi terasa terang dalam hitungan detik.
Ku perhatikan sekelilingku, ada sekitar tiga motor di sebelah kiri dan ada satu mobil double cabin berwarna gelap di sebelah kanan. Saat pantulan cahaya petir dari luar mengisi tempat ini lagi, aku bisa melihat bekas lumpur kering bercampur rumput yang menempel di roda mobil itu.
Pemiliknya mungkin seorang petualang atau seseorang yang pernah bekerja di luar kota. Aku cukup yakin orang itu tidak akan mendapat hadiah seperti itu di kota ini.
“Stt!” Gadis yang sama kembali memperingatkan. Kini telingaku mulai kembali berfungsi. Aku bisa mendengar suara lain selain detak jantungku sendiri. Hujan di luar, suara petir dari kejauhan, dan suara langkah kaki.
Tap! Tap! Tap!
Gadis yang tampaknya bernama Yuki langsung membekap mulutku dengan telapak tangan kiri yang dingin, sementara laki- laki di sebelah kananku maju satu langkah ke depan. Tangannya terlentang menutupi kami berdua seolah berusaha melindungi aku dan gadis di sampingku dari sesuatu yang tidak terduga.
Tap! Tap!Tap!
Nafasku tertahan. Bayangan orang itu kini terlihat dari pantulan cahaya lampu di gang. Panjang dan menyeramkan.
Tap! Tap! Tap!
Dia semakin dekat. Bisa kurasakan ketegangan tidak hanya datang dari diriku tapi juga dari tubuh dua rekanku.
Tap! Tap!
Seorang pria tinggi berhenti di depan kami. Rambutnya hitam dan acak- acakan. Pakaiannya necis. Sepatu kulit berkualitas bagus berpadu dengan celana jeans hitam yang agak longgar. Jaket katun bertudung gelap terlapisi mantel panjang berwarna coklat tanah. Sosok itu menoleh ke arah kami lalu berjalan mendekat.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi jika ini adalah saat terakhirku, aku ingin tahu seperti apa rupa orang yang akan mengambil nyawaku.
Tap!
Melangkah.
Tap!
Melangkah.
Tap!
Berhenti.
Desahan nafas panjang terdengar. Tak lama kemudian, kudengar suara pria dewasa yang terkesan lega, “Untunglah kalian selamat.”
Alisku mengerut mendengarnya. Bagaimana bisa seorang pembunuh mengatakan hal seperti itu? Apa dia psikopat? Apa dia segila itu sampai ingin membunuh kami dengan tangannya sendiri?
Sebelum pertanyaan lain muncul di benakku, sosok di depan kami telah mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Dia menyoroti muka kami satu persatu dengan cahaya senter berwarna biru pudar.
“Ugh!” Kedua teman perjalananku mengeluh bersamaan. Setelah beberapa detik, laki- laki bernama Fajar maju dan berbicara ke sosok di depan kami dengan sopan.
“Maaf aku mengacaukannya. Aku sama sekali tidak tahu mereka telah mengikuti kami.”
Tunggu dulu. Apa mereka saling kenal? Itu berarti orang asing ini juga mengenal gadis di sampingku? Tepat saat itu tangan dingin Yuki turun dari wajahku, beralih terlipat ke depan dada dengan agak canggung. Dari gestur tubuhnya, aku bisa menangkap sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu tapi aku tidak tahu apa.
“Kita bisa bicarakan itu nanti. Talita telah membereskan mereka, tapi kita tidak tahu apa ada yang lain di sekitar sini. Lebih baik kalian berdua pergi ke tempat aman. Kembali ke jalan ini dan Talita akan mengantar kalian.” Sosok asing bicara dengan suara tenang namun penuh ketegasan. Dia menyerahkan senter di tangannya ke Fajar. Itu terlihat agak memaksa.
“Tapi aku harus-”
“Kita tunda dulu. Malam ini bukan waktu yang tepat. Aku akan mengantar Luna. Kamu kembalilah.”
“Tapi Mas-”
“Jangan melawan! Kita semua tahu keselamatanmu yang paling terpenting di sini.”
Apa yang mereka bicarakan sih? Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan mereka berdua. Di sisi lain, Yuki yang masih berdiri di sampingku tidak lagi bersikap kikuk. Dia beralih menatapku dengan tatapan curiga seolah menungguku mengatakan sesuatu.
Aku hanya mengerutkan alis melihat tingkahnya. Semua dugaanku tentang gadis ini benar- benar salah total. Aku rasa perkiraanku tentang umurnya mungkin salah juga. Bagaimana jika ternyata dia lebih tua dariku? Lima tahun mungkin? Siapa yang bisa menduganya kan?
Di depan kami, Fajar tidak lagi melawan. Sosok yang baru datang sepertinya punya karisma yang tidak terbantah. Orang asing itu kembali berjalan maju dan kali ini sasarannya adalah aku.
“Ayo. Alex menunggumu.”
Dia tidak menarik lenganku, tidak menepuk bahuku, atau melakukan sesuatu. Dia hanya bicara begitu, lalu berbalik dan berjalan lebih dulu. Aku memiringkan kepalaku menerima perlakuan tidak terduga.
Hal lain yang mengganggu adalah... kenapa mereka berbicara seolah-olah mereka sangat mengenal adikku? Apa yang telah Alex lakukan sih? Kenapa aku harus berurusan dengan orang- orang ini? Dan kejadian di restoran tadi. Sejak kapan Alex berhubungan dengan orang- orang yang berbahaya? Apa adikku juga dalam bahaya?
“Pergilah, kita akan bertemu lagi.” Gadis yang bernama Yuki berbicara padaku. Dia mengakhiri kalimatnya sembari memberiku senyum simpul yang agak mengejek. Itu menggangguku.
‘Apa- apaan itu?’
“Ya. Kita pasti bertemu lagi.” Suara Fajar dari samping membuatku menoleh refleks. Laki- laki itu langsung menarik lenganku. Telapak tangannya yang besar menggenggam milikku tanpa malu- malu. Rasanya hangat dan nyaman. Ini sangat aneh, terutama karena aku baru bertemu dengannya kurang dari dua jam lalu.
“Aku janji.” Fajar mengatakannya sambil menatapku. Matanya menyiratkan sesuatu, seperti ketakutan tapi juga tekad.
“Ayo!” Pria yang sama kembali memanggilku dari arah pintu masuk basemen. Genggaman tangan Fajar perlahan melonggar. Sebelum aku benar- benar terlepas darinya, jemari panjang itu masih mencegahku pergi.
Aku terus berjalan menjauh. Setelah empat atau lima langkah, aku melirik ke belakang. Dua orang di sana masih berdiri dengan posisi yang sama.