Sekisah tentang Mualim dengan Fatimah

Andriyana
Chapter #1

Bab 1

"Bajingan!" umpat Alim. Garis-garis pada wajahnya menautkan pelbagai rasa yang bercampur aduk. Bukan hanya marah; ada hasrat tertawa terbahak. Bukan hanya geram; ada hasrat gembira seperti anak kecil yang lepas dari kungkungan taktahu.

Bukan pula Mualim bila tidak mampu menerjemahkan semua yang sedang dia lihat di layar komputernya hanya sebagai sesuatu yang remeh.

"Jadi, selama ini aku 'lari' cuma bawa-bawa 'beginian'?" ujar Alim. Dia mendecak-decak. "Parah si Botak." Kepalanya menggeleng-geleng. Alas meja dia tempeleng dengan tangan kiri. Namun sorot matanya tak lepas melihat layar yang isinya bergerak-gerak monoton. Volume suara komputernya sudah bisu selagi gerakan monoton, berulang-ulang, begitu-begitu saja, merangsang sensasi renjana bodoh para pecinta bila melihat gerakan maju mundur maju mundur si cantik dan si ganteng. Namun tidak dengan Alim. Sensasinya tidak mudah dibodohi oleh gerakan monoton itu. Tak kreatif; kurang inovasi juga gaya.

Di dalam rumah, pada salah satu kamarnya, di tengah kampung yang membuatnya tenang, Alim bertelanjang dada, masih terduduk sementara satu telunjuknya yang kanan mengelus-elus flash disk. "Sialan si Botak. Aku selama ini dihantui rasa takut sebab membawa flash disk yang ternyata cuma berisi video 'beginian'." Ujaran Mualim mengumpat lamun wajahnya tertawa tipis cuma sebentar.

Suara engsel pintu kamar terdengar berderit. Alim cepat menoleh ke kiri sebentar kemudian teperanjat,

"Setop, Imah," pinta Alim. "Setop." Nada bicaranya tegas. Satu telapak tangan kiri dia terentang seluruh jemarinya. 

"Kang," kata Fatimah.

"Setop, Imah." 

"Imah cuma mau kasih kopi ini buat Kang Alim." 

Sesudah mouse bergerak, "Ya sudah. Sekarang Imah masuk, deh." Alim memberikan senyum khasnya. Apa yang kini tampil di layar komputer sudah berganti dengan foto empang-empang miliknya di Kampung Pengukir.

Fatimah berujar, "Bapak kemari tadi, Kang." Segelas kopi bersama tatakannya turun dari nampan di tangannya.

"Ada apa?" Tangan Alim taksabar. Meski bertanya, bibir gelas kopi sudah hampir beradu dengan mulutnya. 

Fatimah memeluk nampan sesudah meletakkan satu gelas kopi tak jauh dari sisi foto empang Mualim. 

"Apa lagi, Kang?" tanya Fatimah seraya tersenyum. 

Alim yang memandang keindahan sebuah senyum sedang berdiri di sampingnya, lekas mengerti apa arti senyuman dari wajah itu. 

Sekali Mualim mengelus lembut pipi kanan Fatimah. "Sekarang jam berapa, Mah?"

Lihat selengkapnya