Sekolah Atap Tinggi

Agus Puguh Santosa
Chapter #1

Prolog

“Sri, sebaiknya kamu tidak menerima tawaran pekerjaan itu,” ucap Jatmika dengan nada gamang.

Aku hanya tersenyum sembari menggeleng. “Tidak, Mik, aku harus menerima tawaran bagus ini” sahutku agak ketus.

“Aku paham, Sri.” Jatmika berusaha tersenyum, meski aku tahu mungkin di hatinya tergores rasa kecewa “tapi sebaiknya kamu pikirkan kembali, ya!”

“Memangnya kenapa, Mik? Apakah salah jika aku mau mengabdi sebagai guru?” Kali ini rasa ingin tahuku mulai bertanya-tanya.

Jatmika hanya menggeleng. Dia berusaha mengatur nafasnya baik-baik. Dia mencoba menyusun beberapa kalimat, sebelum berbicara lebih lanjut kepadaku.

“Kamu yakin mau mengajar di sekolah itu, Sri? Sekolah Atap Tinggi yang begitu terkenal namanya di Kota Pakuwon ini,” lagi-lagi Jatmika seolah hendak menegaskan pertanyaannya di awal percakapan siang itu.

Di atas langit, sang bhagaskara bersinar demikian terik, mungkin mirip suasana hati Jatmika yang tak habis pikir dengan pilihanku. Butir-butir keringat mengucur deras di dahi pemuda berusia 22 tahun itu. Sekali waktu Jatmika tampak mengusap dahinya dengan punggung tangan kanannya. Bisa jadi suasana hati Jatmika semakin gerah mendengar tanggapanku barusan.

Kutundukkan kepalaku, seperti seseorang yang tengah merenungi sesuatu. “Mik, kenapa kamu sepertinya keberatan jika aku menerima tawaran untuk mengajar di sekolah itu?”

“Sri,… bukannya aku bermaksud menjelek-jelekkan nama sekolah ini. Tapi dari banyak cerita yang kuperoleh selama, aku merasa keberatan jika engkau mengabdi di sana.” Jatmika tidak meneruskan kata-katanya.

Kucoba mencerna kata-kata Jatmika, yang kurasa tak masuk akal itu. Aku masih mencoba menebak-nebak maksud kalimat yang baru diucapkan lelaki kurus di hadapanku ini.

“PING!!!” tiba-tiba Blackberry milikku bergetar. Dengan sigap kuraih benda berwarna merah jambu, yang sedari tadi tergeletak manis di sudut meja tamu. Aku hanya tersenyum tipis usai membaca sebuah pesan yang ditujukan kepadaku.

Tatapan kedua mata Jatmita sedikit curiga. “Pacar baru, ya? Kok senyum-senyum sendiri?” kata Jatmika dengan nada sok tahu.

“Bukan. Bukan,” jawabku santai. “Ini pesan dari sekolah itu, tepatnya panggilan untuk wawancara kerja,” lanjutku tersipu malu. Setelah berpikir sekian detik lamanya, diriku pun kemudian mengetikkan beberapa kalimat balasan.

Jatmika tak melanjutkan ucapannya. Sepertinya dia tengah berusaha menguasai diri sambil menatap wajahku dalam-dalam.

Lihat selengkapnya