Siang itu matahari terasa begitu terik. Hembusan angin nyaris tak bergeming, seolah hanya jadi penonton gumpalan awan hitam keabuan yang menghiasi cakrawala di banyak titik dan sudutnya.
Di sebuah warung makan sederhana yang lokasinya tak jauh dari pasar kota, diriku nongkrong bersama salah seorang sahabat karibku. Namaku Srikandi Pritawati, seorang guru senior di sebuah sekolah swasta bertaraf internasional yang cukup punya nama di kotaku ini, “Sekolah Atap Tinggi” – demikian warga sekitar kerap menyebutkan namanya.
“Sri, kamu udah kelar tugas administrasi di akhir semester ini?” tanya Nn Desy dengan nada suara lemah tak bertenaga, sembari memainkan ujung jarinya di antara gagang garpu di tangan kanannya.
Aku menghela napas. Ada perasaan gondok yang tiba-tiba membebani dadaku. Meskipun aku sudah mengabdi hampir 13 tahun di sekolah ini, namun ritme dan rutinitas yang kujalani dari waktu ke waktu rasanya semakin membebani. Guru-guru yang baru bekerja kemarin sore, dengan guru-guru yang jam terbangnya bertahun-tahun, tetap terjebak pada situasi konkrit yang tak jauh berbeda.
“Sri,…” bisik Nn Desy dengan nada tinggi kearahku.
Sekonyong-konyong aku hanya mengangguk, lalu kugelengkan kepalaku. Kulihat Nn Desy mengangkat bahunya sembari memasang wajah datar.
Sejurus kemudian, kulanjutkan menikmati sepiring mi instan yang tersaji. Hal yang sama juga diperbuat Nn Desy.
Beberapa waktu kemudian, udara terasa lebih dingin. Suasana langit kian mendung diringi hembusan angin yang semakin kencang.
Segera kuraih tas kecil yang semula ada di pangkuanku. “Des,… yuk kita segera balik ke sekolah sebelum hujan!” seruku.
Akupun segera mengambil beberapa lembar uang kertas dari dalam tas kecilku. Kusodorkan lembaran uang tersebut kepada pemilik warung.
“Terima kasih banyak, Nak Sri,” ucap si Bibi tersenyum manis. Dia menyerahkan beberapa keping uang logam sebagai kembaliannya.
Kutepuk pundak kiri Nn Desy sambil memberi aba-aba untuk menyiapkan motornya. Dari sekolah tadi kami berangkat bersama. Untuk menghemat biaya, akupun meminta tumpangan pada Nn Desy.
Kami berdua memang telah bersahabat akrab sejak dua tahun terakhir. Masa kerja guru yang bernama lengkap Desy Barunawati ini baru dua tahun, Yah, sejak awal keberadaannya di sekolah ini, entah mengapa kami berdua menjadi cocok satu sama lain. Bahkan selama menjalani masa percobaan di sekolah ini, aku merasa ringan hati untuk menjadi malaikat penolong baginya.
Suara guntur terdengar menggelegar memekakkan telinga. Rintik air hujan mulai berhamburan dari tingkap-tingkap awan menuju permukaan bumi. Aku dan Nn Desy bergegas mengenakan jas hujan masing-masing, sebelum akhirnya melaju di atas dua roda yang menghantar kami kembali ke sekolah.