Siang itu suasana di kawasan gedung sekolahku sunyi senyap. Hampir sebagian besar guru-guru menghabiskan waktu istirahatnya di luar area sekolah. Sekitar jam 12.00 tadi, kulihat beberapa guru laki-laki mengenakan baju koko, lengkap dengan sarung di pundak, serta kopiah sebagai penutup kepala. Mereka pergi secara rombongan ke Masjid Besar Kota Pakuwon - yang berjarak 3 kilometer dari tempat ini, untuk melaksanakan ibadah salat Jumat berjamaah.
Usai menikmati bekal makan siangku, akupun beranjak ke laboratorium komputer di Gedung Prisma. Gedung berlantai tiga yang berlokasi di sudut komplek sekolah ini dikelilingi tanaman bambu kuning.
Setelah ada di dalamnya, segera kunyalakan salah satu laptop yang ada. Selama beberapa hari terakhir, aku sering ke laboratorium komputer ini untuk meminjam laptop, demi menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
Pasca kerusakan laptop yang kualami di awal pekan lalu, aku praktis tidak bisa bekerja lagi di rumah. Jujur, aku sangat khawatir bila sampai mendapatkan sanksi dari Tn Tomo. Sehingga mau tidak mau, akupun rela bekerja di tempat ini setiap hari, selepas jam makan siang.
Setengah jam berlalu begitu saja. Mendadak suara hening menguasai ruang sekitarku. Dan detik demi detik terasa begitu lama sesudahnya. Bahkan karena sangat heningnya, tak terdengar lagi suara kipas dari blower AC yang bergerak naik turun.
Suatu ketika di atas plafon ruangan ini kudengar suara langkah kaki banyak anak-anak yang berlarian kesana-kemari. Tok, tok, tok,…. Sreeeeettttt…., grrrrrrrrduuuukkkkkk,… ciiiiiitttttttt….. suara-suara itu berulang, riuh-ramai, seperti suara anak-anak yang sedang bermain bersama. Terkadang muncul suara meja dan kursi yang digeser kesana-kemari. Di lain waktu, satu dua anak tertawa diikuti teman-temannya. Pun ada suara jeritan yang melengking memekakkan kedua telingaku.
Kunikmati suara-suara aneh itu seorang diri. Entah datang dari mana, aku seperti menyadari dengan sendirinya bahwa keriuhan yang terjadi di atas kepalaku berasal dari “dunia lain” – dunia yang berada persis di atas plafon ruangan ini.
“Sri,… Sri,…., bangun, bangun,… ,” lamat-lamat terdengar sebuah suara lembut menyeruak masuk ke gendang telinga kiriku. Suara lembut ini istimewa dan seumur-umur belum pernah kudengar selama ini. Ada hembusan angin dingin yang membelai permukaan di kulit tengkukku.
Di saat yang lain, sebuah telapak tangan menepuk-nepuk pundak kiriku dari arah belakang. Sekonyong-konyong aku tersentak kaget. Saat aku menoleh ke belakang, aku benar-benar merinding dibuatnya. Seorang wanita paruh baya mendadak muncul di dekatku.
Kupandangi wajahnya beberapa waktu lamanya. Wajahnya sangat asing bagiku. Cara berpakaiannya pun aneh, tidak seperti orang kebanyakan yang aku jumpai selama ini. Dia tersenyum kearahku. Pipinya agak tirus dengan gurat persegi di masing-masing sisinya.
“Sri,… apakah benar kamu yang bernama Sri?” ucapnya lagi sembari mengernyitkan dahinya yang bidang. Pertanyaan ini menyentakkan lamunanku.
Aku hanya mampu mengangguk. Segera kupandangi suasana di sekelilingku. Aku merasa benar-benar asing dengan tempat ini. Sebuah ruangan terbuka dengan teras yang tertata apik.
Belum habis rasa heranku, lagi-lagi wanita paruh baya di hadapanku ini memberiku insyarat.
“Sri, come with me [4],” bisiknya sambil mengajakku pergi ke ruangan lain. Dia melangkah perlahan di atas kedua tumitnya yang mengenakan selop high heels [5]. Oh, bunyi hentakan sepatu itu terdengar berderap-derap dan merasuk hingga ke dalam pikiranku.
Entah mengapa aku mengikuti langkah-langkahnya, tanpa bisa kutolak. Setelah melalui dua lorong agak panjang, kami tiba di sebuah ruangan. Tepatnya, sebuah ruang kelas.
Wanita paruh baya itu segera menghambur ke dalam ruangan dan berbicara dengan para siswanya dengan bahasa yang tak mampu kumengerti. Sekali waktu dia tertawa terbahak, dan di saat yang lain tidak tampak serius.
Suasana kelas yang semula ramai oleh tingkah polah anak-anak itu kini mendadak sunyi lengang. Kemudian wanita itu melambaikan telapak tangan kanannya kearahku.