Sekolah Atap Tinggi

Agus Puguh Santosa
Chapter #4

Lelaki Kecil Berambut Emas

Hari itu adalah hari pertamaku bekerja di Sekolah Atap Tinggi, Senin, 11 Januari 2011. Aku masih ingat betul, ketika itu aku bangun subuh hari. Alasannya klasik. Seperti alasan yang dibuat orang-orang pada umumnya, saat masuk kerja di hari pertama. Ya, benar. Aku takut terlambat!

Gara-gara takut terlambat, aku sudah terjaga sekitar jam tiga pagi. Udara masih terasa dingin dan lembab. Sempat terbersit keinginan untuk memejamkan kedua mata ini selama beberapa menit ke depan. Namun niat itu segera kutepis. Aku benar-benar takut terlambat dan dicap sebagai pemalas!

Seperti biasa, kunyalakan musik favoritku melalui laptop yang kubiarkan stanby sejak tadi malam. Dan subuh itu, entah mengapa lagu “Satu Kayuh Berdua” dari Kla Project yang kuputar. Jujur kuakui, sudah sejak lama aku ingin sekali menjalin relasi yang serius dengan seorang laki-laki. Memang, aku sudah berpacaran dengan Jatmika selama 2 tahun terakhir, namun entah mengapa aku meragukannya

Oiya, saat itu usiaku baru 21 tahun dan aku baru wisuda di akhir 2010. Dan rasanya senang sekali bisa diterima bekerja sebagai guru di sekolah ini, meskipun Jatmika sempat melarangku untuk mengambil pilihan ini. Memang, Jatmika pernah menyampaikan alasannya, dengan penjelasan rinci sebagai pelengkapnya. Namun aku tak mampu melawan kata hatiku sendiri, untuk tetap mengambil peluang ini. Mengabdi sebagai guru di Sekolah Atap Tinggi.

“Selamat pagi, Pak. Selamat pagi, Bu.” ucapku pada dua orang satpam yang tengah berjaga di gerbang sekolah. Mereka tersenyum sambil menyapaku ramah.

“Selamat pagi juga, Bu,” sahut keduanya kompak.

Mereka kemudian mempersilakan diriku untuk mengisi buku tamu yang terletak di atas sebuah meja. Perlahan kuisi buku tamu ini dengan teliti, hingga aku membubuhkan tanda tanganku di kolom paling kanan.

Mereka berdua sepertinya telah diberi perintah untuk menyambut guru-guru baru yang masuk hari itu. Dari buku tamu yang barusan kuisi, ternyata ada beberapa nama guru yang datang sebelum diriku. Dua nama yang kuingat antara lain Ramanda Suryawinata dan Andarura Rumence.

Segera aku bergegas memasuki gerbang sekolah ini. Ketika itu suasana masih sunyi sepi karena nyaris belum ada siswa yang hadir. Saat aku mulai menjejak halamannya, aku merasa terkesan dan terkagum-kagum. Dari informasi yang kuperoleh dari sebuah artikel yang pernah dimuat di koran Pakuwon Post, sekolah elit ini menempati lahan seluas 3 hektar.

Selama beberapa menit pertama, kusapu setiap sudut yang ada dengan kedua mataku. Di sisi lapangan sebelah kanan terdapat baliho besar yang memuat peta lengkap sekolah ini. Aku segera melangkah menghampiri baliho besar itu. Ternyata di balik tembok tingginya, sekolah ini memiliki banyak gedung yang tersebar merata di beberapa area. Jika kuperhatikan baik-baik, di peta itu juga terdapat lapangan sepak bola, lapangan basket, lapangan bulutangkis, dan dua buah kolam renang dengan ukuran berbeda.

Good morning, Ms Sri, [12]” sebuah suara anak lelaki terdengar menyapaku dari arah belakang.

Tanpa berpikir panjang, segera kusahut salam tersebut, “Good morning, kid [13]”

Ilustrasi by : https://freepik.com, diolah melalui https://www.canva.com/


Saat tubuhku berputar 180 derajat, kudapati seorang anak lelaki kecil berambut kuning keemasan. Pipinya tembem berwarna merah jambu. Wajahnya seperti wong Londo [14], bisikku dalam hati.

Lelaki bermata biru itu tersenyum ramah kearahku. Dijabatnya erat-erat kedua telapak tanganku, lalu dia pergi ngeloyor begitu saja menghilang di tikungan sebuah tugu.

Lihat selengkapnya