Sore itu selepas Magrib, aku dan rekan-rekanku masih berada di aula lantai enam Gedung Trapesium. Esok hari, Sekolah Atap Tinggi akan menggelar even tahunan berupa Kompetisi Sastra Antar Sekolah Dasar se-Kota Pakuwon.
“Para guru yang budiman,…” sapa Tn Tomo. Lelaki paruh baya di hadapanku ini tak segera melanjutkan kata-katanya. Dia tampak mengusap butir-butir peluh di dahinya dengan selembar saputangan cokelat.
Aku dan guru-guru lainnya hanya terdiam menanti apa yang akan disampaikan Tn Tomo berikutnya. Aku sendiri merasakan penat yang tak terkira. Hampir 2 minggu terakhir, kami menghabiskan waktu rata-rata 15 jam di sekolah. Sejak pagi hingga sore hari, kami disibukkan dengan aktivitas mengajar di kelas plus melakukan koreksi terhadap PR siswa, juga menyiapkan pembelajaran esok hari.
Mulai pukul 3 sore hingga pukul 10 malam, kami berbagi tugas sesuai divisi masing-masing untuk persiapan kompetisi sastra tahun ini. Ada yang kebagian tugas mengantar surat undangan acara sekaligus melakukan sosialisasi ke semua sekolah dasar yang ada di kota ini. Ada pula divisi yang kebagian tugas menyebarkan proposal penggalian dana yang diserahkan kepada orang tua siswa, para donatur, dan pihak sponsor.
Ada pula divisi yang bertugas menyiapkan penampilan para siswa yang mengisi acara di panggung pentas. Sedangkan aku dan beberapa orang guru kebagian tugas untuk menghias panggung pentas di lantai enam Gedung Trapesium ini.
Semua tugas itu dilakukan secara full time [24] oleh guru-guru di sekolah ini, tanpa melibatkan event organizer manapun. Meski sekolah ini termasuk sekolah elit, namun pihak manajemen maupun yayasan sangat perhitungan. Prinsip yang mereka pegang benar-benar mengacu kepada prinsip ekonomi, yaitu melakukan usaha sekecil-kecilnya untuk meraih hasil yang sebesar-besarnya.
Mewakili pihak yayasan, biasanya dalam pelaksanaan even tahunan seperti ini, Tn Tomo sering berujar bahwa kondisi keuangan panitia selalu defisit dan banyak pengeluaran; sementara itu proposal yang diedarkan belum banyak mendapatkan tanggapan. Ujaran klasik seperti ini telah disampaikannya berulang-ulang selama 13 tahun terakhir. Dan sebagai salah satu guru senior yang bertahan, aku menjadi saksi dari semua itu.
“Ny Sri, bagaimana persiapan panggung pentas sampai malam ini?” suara Tn Tomo mendadak membuyarkan lamunanku.
Sejenak aku gelagapan. “Oh, beres, Tn Tomo.” Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Tn Tomo tersenyum tipis dan sinis. “Benarkah panggung sudah beres, Tn Lang?”
Tn Lang adalah ketua panitia Kompetisi Sastra tahun 2024 ini. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum menggerakkan bibirnya.
“Siap, Tn Tomo. Persiapan sudah 95 persen!” jawab Tn Lang mantap.
Tn Tomo menggeleng-gelengkan kepalanya. Mulutnya berdesis; sebuah isyarat yang biasanya hendak mewakili rasa ketidakpuasan hatinya.
“Kok baru 95 persen? Yang 5 persen mau diselesaikan kapan, Ny Sri?”
Aku tercekat, rasanya begitu berat untuk membuka mulutku. Sejujurnya aku hendak mengumpat terhadap diriku sendiri. Celaka duabelas! Hiasan janur dan pernak-perniknya belum jadi kuambil sore tadi.
“Ny Sri, kenapa Anda melamun?” kali ini intonasi suara Tn Tomo meninggi, setinggi ombak emosinya yang kian pasang itu.
“Emmm, Ny Sri, …, jika Anda perlu bantuan guru-guru lain, seharusnya sejak pagi tadi kami diberitahu,” cerocos Ny nDuru dengan ekspresi manis namun menjengkelkan. Seperti biasa, dia sedang mencari muka di hadapan Tn Tomo.
Dan aku mulai berusaha lebih keras untuk menguasai emosiku yang mulai terpancing.
“Maaf Tn Tomo, Ny nDuru, dan rekan-rekan semua. Maafkan saya,” kataku dengan nada merendah, “saya memang seharusnya mengabari kalian pagi tadi. Saran Ny nDuru betul sekali. Jujur saya akui bahwa sore tadi saya memang kelupaan mengambil hiasan janur dan pernak-perniknya di Pasar Kamisan.
Di saat berikutnya, kulihat Tn Juna mengangkat telapak tangan kanannya; sebagai isyarat interupsi kepadaku.
“Saya siap membantu, Ny Sri! Yang terpenting sekarang, hiasan janur dan pernak-perniknya itu bisa segera kita ambil dan kita pasang di atas panggung.” Ucapan Tn Juna terdengar bergema memenuhi ruangan ini. Suara yang begitu menenangkanku, terutama di saat hatiku sedang gundah gulana seperti sekarang.
“Tn Juna, silakan bantu Ny Sri untuk merampungkan tugas dan tanggung jawabnya, ya!” ujar Tn Tomo, “guru-guru yang lain silakan memeriksa kembali stand-stand yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing, mulai dari lantai dasar hingga lantai lima gedung ini.”
Segera kuhampiri Tn Juna.
“Kita langsung pergi ke Toko Ningsih ya di komplek Pasar Kamisan. Semoga saja tokonya masih buka jam segini,” ajakku.
Tn Juna tak banyak berkomentar. Segera diambilnya kunci mobil yang berada di saku kanan celananya. Dan kami berdua bergegas keluar gerbang sekolah menuju Pasar Kamisan yang berada di pusat Kota Pakuwon.