Pagi menjelang. Saat kubuka tirai kamarku, udara sejuk menghambur ke dalam ruangan kamar ini. Suara kicau burung terdengar bersahut-sahutan di antara rimbunnya ranting pepohonan di seberang jalan. Seperti biasa, Rama sudah tak ada lagi di atas pembaringan. Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 05.15. Segera aku keluar kamar.
“Halo Sri, baru bangun?” sapa Rama sembari menikmati sarapannya di meja makan.
Aku tersenyum. Rasanya aku bangga dikaruniai seorang suami yang mandiri seperti Rama. Seandainya suamiku bukan Rama…
“Eh, kok bengong? Ayo buruan mandi, Sri. Jangan telat. Ingat pesan Tn Tomo!” seru Rama sambil cengengesan menirukan gaya Tn Tomo saat berbicara. “Kamu punya sisa waktu sekitar satu jam dari sekarang, lho!” lanjutnya.
Aku setengah berlari menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Terpaksa aku mandi bebek [27], karena aku harus sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Usai mandi, aku segera berdandan ala kadarnya. Kuhampiri meja makan. Rupanya Rama sudah beranjak ke kamar anak-anak kami, Bagas dan Citra.
Sebelum berangkat ke sekolah, Rama selalu mengurusi Bagas dan Citra. Keduanya sudah bersekolah, Bagas duduk di bangku kelas 3 SD, sedangkan Citra di bangku TK. Rama juga yang selama ini rajin menyiapkan perbekalan mereka. Sesekali waktu aku membantu Rama untuk melakukan semua itu; namun tatkala diriku sibuk atau memiliki jadwal kegiatan sekolah yang padat, Rama nyaris tak pernah protes sedikit pun.
“Selamat pagi Ma,” Bagas dan Citra mengagetkan lamunanku. Rupanya mereka berdua telah memakai seragamnya masing-masing dengan rapi.
Kutarik kursi makan keduanya, dan dalam sekejab mereka duduk dengan rapi. Lalu mereka menyantap sarapan yang sudah disiapkan Rama sebelumnya. Rama duduk di dekatku sambil mengamati keduanya dengan seksama.
“Sri, sejak pertama kali mengenal Sekolah Atap Tinggi, waktu 24 jam di situ rasa-rasanya tak pernah cukup untuk menuntaskan setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan,” kata Rama membuka percakapan.
Aku hanya mengangguk. Rasanya aku bosan menanggapinya panjang lebar, sebab kami sudah terlampau sering membahasnya.
Seperti percakapan-percakapan sebelumnya, untaian kalimat berikutnya meluncur dari bibir suamiku. Untaian kalimat yang isinya dapat kutebak,
“Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap guru yang mengabdi di sekolah ini harus merelakan waktu pribadinya untuk kepentingan sekolah.”
Rama tak melanjutkan kata-katanya. Segera diraihnya dua tas sekolah beserta perbekalan Bagas dan Citra.
“Ma, kami duluan ya,” ucap Rama diikuti kedua anak kami. Bayangan mereka bertiga segera lenyap di balik dinding pintu depan.
Waktu rasanya bergulir begitu cepat. Aku masih punya waktu sepuluh menit ke depan untuk tiba di sekolah.