Siang itu seusai mengajar di kelas, aku bersama Nn Desy berada di ruang audio visual di Gedung Silinder. Cuaca di luar tampak mendung. Sejak pagi gerimis mengguyur tipis-tipis kota ini. Sepertinya udara di luar sana cukup lembab dan berangin. Dari kaca jendela ruangan ini, kulihat titik-titik air mulai jatuh menyapa bumi.
“Des, gimana hasil rekaman podcast [39] kita dua hari ini?” sergahku usai rekaman sesi akhir.
Nn Desy hanya mengacungkan dua jempol tangannya sambil tersenyum tipis.
“Coba puterin lagi ya, Des! Aku mau melihat hasilnya,” pintaku.
Dengan cekatan, Nn Desy me-render [40] hasil rekaman podcast hari ini, sebelum kemudian memutarkannya di layar televisi digital yang ada di sudut ruangan.
Setelah jingle dan logo sekolah berlalu, muncullah rekaman podcast yang kubuat bersama Nn Desy, Tn Lang, Tn Juna, Tn Moro, dan Nn Vika. Aku dan Nn Desy mengamati setiap perbincangan yang hadir silih berganti.
“Yah, lumayan ini, Sri,” komentar Nn Desy dengan nada serius namun datar.
Aku mengangguk, meski sejujurnya ada beberapa bagian podcast yang seharusnya di-take ulang [40]. Tapi besok pagi podcast ini harus tayang sesuai permintaan Tn Tomo.
“Oke, Des. Segera kamu urus aja ya untuk proses unggah di YouTube dan akun medsos sekolah kita malam ini.” pintaku.
“Beres, Bos!” sahut Nn Desy menyanggupi.
Beberapa saat kemudian Nn Desy pamit untuk pergi ke kamar kecil yang ada di ujung lorong lantai dasar gedung ini.
Sembari menanti Nn Desy kembali, aku melangkah menuju salah satu ruangan lain di Gedung Silinder. Ruangan itu ada di lantai dua. Di dalamnya tersimpan aneka macam bentuk dokumentasi sekolah ini sejak awal berdiri. Namanya Ruang Arsip Perunggu.
Setibanya di situ, kubuka pintu ruangan perlahan. Aroma kertas tua yang berhembus dari salah satu rak menyapa indra penciumanku. Dan rak ini berada persis di pintu masuk.
Beberapa lamanya aku berdiri mematung. Seperti tersihir, aku tak mampu berbuat banyak; selain diam membisu dan menatap suasana di sekelilingku dengan takjub. Dan ketakjuban itu tiba-tiba sirna saat lampu penerangan ruang ini padam. Secara spontan kuambil gawaiku dengan maksud menyalakan lampu senter. Namun nahas, baterainya habis. Aku tak dapat pergi kemana-mana, karena ternyata lampu di seluruh gedung ini padam.
***
“Sri,… wake up, wake up, [42]” sebuah suara terdengar menyapa gendang telinga kiriku. Suara lembut ini sangat kukenali. Sesaat berikutnya, hembusan angin dingin merangkak menapaki permukaan kulit leherku.
Ilustrasi by : https://leonardo.ai dan https://www.canva.com/
Aku mencoba mencari darimana datangnya suara itu. Sebuah lilin kulihat menyala di atas sebuah meja yang cukup lebar. Di sisi tembok di hadapanku, berjajar beberapa buah kursi kayu berpelitur cokelat. Dan seorang wanita paruh baya duduk di salah satu kursi itu. Dia menatap kearahku sambil tersenyum.
“How are today, Sri? [43]” sapanya ramah.
“I am fine, Mrs Marie, [44]” sahutku.