Sekolah Atap Tinggi

Agus Puguh Santosa
Chapter #11

Percik-Percik Awal Perseteruan

Aku baru selesai makan siang. Saat tengah merapikan perkakas makanku, dari arah ruang kepala sekolah muncul Tn Siwi yang langsung datang menghampiriku.

"Nn Sri, dipanggil Tn Tomo, ya," katanya.

"Sekarang?" tanyaku untuk memastikan lagi.

"Nn Sri segera ke ruang Tn Tomo ya. Udah ditunggu, tuh!" Tn Siwi tak banyak berkomentar. Dia langsung membuka pintu ruang guru dan pergi keluar.

Aku tak tahu pasti sebabnya, mengapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Tumben Tn Tomo memanggilku siang-siang begini untuk menghadap ke ruang kepala sekolah. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera beranjak ke ruang Tn Tomo.

Setelah mengetuk, aku segera masuk ke dalam. Kebetulan pintunya kali ini tidak dikunci.

"Silakan masuk, Sri," sapanya dingin.

Kupaksakan diri untuk tetap tersenyum, "Selamat siang, Tn Tomo."

"Silakan duduk, Sri."

Aku segera duduk di depan meja Tn Tomo. Kini posisi kami saling berhadapan satu sama lain.

Lagi-lagi Tn Tomo tersenyum dingin.

"Tunggu sebentar, Sri,"

Kulihat Tn Tomo sedang memeriksa beberapa berkas yang ada di tangannya. Beberapa dari berkas itu diwarnainya dengan stabilo jingga.

Beberapa menit kemudian kudengar Tn Tomo terbatuk-batuk kecil, sebelum ia menyampaikan tujuannya memanggilku siang ini.

“Nn Sri, tahun ajaran ini adalah tahun keduamu mengabdi sebagai guru di Sekolah Atap Tinggi,”

“Benar sekali, Tn Tomo.” jawabku singkat.

“Saya harap Anda jangan coba-coba untuk melangkah sesuka hati di sini,” nada suara Tn Tomo kini terdengar mulai meninggi.

Aku hanya menunduk. Aku masih bingung dan tak mengerti maksud kalimat terakhir yang diucapkan Tn Tomo.

“Mohon maaf, Tn Tomo. Salah saya kira-kira apa, ya?”

“Nn Sri, kesalahan Anda memang mungkin kelihatan sepele. Tapi tolong hati-hati. Karena selama tiga hari terakhir ini saya menerima pengaduan dari orang tua siswa kelas 1A.”

Kucoba mengingat-ingat setiap kejadian yang kualami selama seminggu terakhir. Rasa-rasanya aku tidak menemukan masalah serius di kelas 1B yang kudampingi setiap hari.

“Mohon maaf, Tn Tomo. Bukankah kelas 1A sebenarnya menjadi tanggung jawab Ny nDuru? Lalu mengapa saya yang dipanggil siang ini?” tanyaku penuh keheranan.

Kudengar Tn Tomo berdehem sebelum menjawab pertanyaanku.

“Kelasmu dan kelas Ny nDuru itu secara teknis adalah saudara kandung. Jadi sudah semestinya Nn Sri maupun Ny nDuru memberikan perhatian dan perlakuan yang sama dan seimbang kepada siswa-siswi yang dipercayakan kepada kalian berdua.”

Dengan gugup, aku berusaha memberikan penjelasan kepada Tn Tomo.

“Benar sekali, Tn Tomo. Selama mengikuti pembekalan di Sekolah Putra Pertiwi di Jakarta setahun kemarin, kami bertiga juga diajarkan soal itu oleh Bu Denok.”

Lha, ini kenapa kok sekarang Nn Sri mulai menerapkan yang beda-beda?” kata Tn Tomo dengan intonasi suara kian meninggi.

Aku menduga bahwa kali ini Tn Tomo memang sedang marah kepadaku. Meskipun sampai detik ini aku belum dapat menemukan kesalahan yang sudah kuperbuat selama seminggu terakhir.

“Prinsip yang harus kami pegang selama menjadi guru adalah menerapkan pembelajaran yang selaras, seimbang, dan seragam untuk kelas-kelas yang secara teknis disebut saudara kandung,” ujarku melengkapi penjelasanku sebelumnya.

“Nn Sri, saya tahu Anda adalah guru yang cerdas. Tapi seharusnya dengan kecerdasan tersebut, Anda bisa menjadi guru yang dapat bekerjasama dengan baik dengan rekan sejawat.”

Entah mengapa, semakin lama ucapan Tn Tomo terdengar semakin rumit dan berputar-putar di kepalaku. Rasa-rasanya aku hendak emosi saja mendengarnya.

Di saat berikutnya Tn Tomo menyodorkan beberapa lembar berkas yang tadi sempat dicorat-coretnya dengan stabilo jingga.

“Coba perhatikan beberapa bagian yang saya beri stabilo jingga,” rujuknya.

Tn Tomo segera berdiri dari kursi duduknya.

“Saya ke kamar kecil dulu, ya

Lihat selengkapnya