Sekolah SMA Za-Za

tettyseptiyani02
Chapter #1

1. Za-Za Sodiiqun Hamiimun

Pemuda itu menyeret kakak kelasnya. Air langit yang sejak tadi mengguyur tidak menghentikan tinju dan tendangan yang bergantian dilayangkan. Seragam sekolah pun mulai basah setelah tersentuh hujan yang deras. Tetesan darah di mana-mana, lebam bekas pukulan menghiasi wajah kedua pemuda itu. Tak seorang pun dari mereka berniat mengalah, meskipun keduanya sudah sama-sama nyaris tak berdaya. 

"Rasakan ini, bangsat!" pekik pemuda yang satu seraya menyarangkan pukulan pemungkas ke wajah lawannya.

Tong sampah yang berada di lapangan sekolah terhempas jauh akibat tendangan, tiba-tiba saja terdengar suara hebat seperti benturan kaca dari bangunan yang tak jauh dari lokasi perkelahian. Salah satu di antara mereka kini nyaris tak berdaya.

"Mau apa lu kalau udah kayak gini, hah!" pekik pemuda yang memenangkan perkelahian tersebut.

Tak banyak siswa dan guru yang keluar di waktu hujan tersebut. Salah seorang siswa perempuan yang mendengar suara benturan kaca itu keluar kelas. Setelah melihat ada perkelahian, ia bergegas melaporkan kepada para guru dan staf sekolah untuk menghentikan perkelahian tersebut

Para guru yang mengetahui hal tersebut segera memisahkan kedua pemuda yang masih berdiam diri di sisi lapangan, mereka menyaksikan ada darah yang bercucuran dari kepala salah satu siswanya. Satu di antara siswa tersebut dilarikan ke rumah sakit dan lainnya diamankan pihak sekolah ke kantor polisi setempat.

***

Derasnya hujan siang ini tak menghalangi Zain menemui Fattah, anaknya yang sedang berada di kantor polisi.

Setelah selesai urusan di rumah sakit, perwakilan guru kembali ke sekolah. Sedangkan orang tua siswa yang sebagai korban, pergi ke kantor polisi menemui Fattah yang telah membuat anaknya terbaring di rumah sakit untuk meminta pertanggung jawaban.

Zain bertemu dengan wali murid bernama Hermanto yang anaknya menjadi korban oleh Fattah. Duda dua anak itu meminta maaf pada Hermanto atas perbuatan Fattah yang diluar batas wajar. Awalnya Hermanto bersikeras ingin memasukan Fattah dalam penjara. Namun, setelah Zain berbagi kisah tentang sikap Fattah yang berubah sejak ditinggal ibunya, Hermanto merasa berempati dan dapat memaklumi karena menempatkan diri sebagai seorang ayah. 

"Ya sudah, Pak, sebagai seorang ayah saya sangat mengerti keadaan Bapak, karena saya juga seorang duda. Memang mengurus anak laki-laki itu lebih sulit dan tertantang. Anak saya pun sebenarnya sering melakukan hal yang sama seperti anak bapak lakukan, tapi tidak pernah separah ini," ujar pria bernama Hermanto.

"Ma syaa Allah, terima kasih banyak, Pak. Saya akan selalu ingat kebaikan bapak!" ungkap Zain.

Zain pun bertanggung jawab untuk membayar semua biaya rumah sakit dan meminta Hermanto untuk mencabut tuntutannya pada polisi.

Kepala sekolah telah menghubungi Zain agar menemuinya setelah selesai urusan di kantor polisi. 

Setelah Zain bertanggung jawab serta memberikan jaminan pada polisi agar putra bungsunya tidak ditahan, ia membawa Fattah kembali ke sekolah. Sampainya di sekolah, Zain dan Fattah pun berhadapan langsung dengan kepala sekolah di salah satu ruangan tertutup.

"Maaf, Pak. Saya akui, bahkan para guru di sekolah Cakrawala juga sependapat, bahwa Fattah anak bapak ini sangatlah pandai dalam bidang akademik, terlebih mata pelajaran IPA. Namun, mengingat perilakunya yang semakin hari seperti tak terkendali, kami memutuskan agar bapak segera membuat surat pengunduran diri Fattah dari sekolah ini," tutur kepala sekolah.

Fattah terbelalak saat mendengar penjelasan dari kepala sekolahnya.

"Apa tidak ada cara yang lebih baik lagi, selain mengeluarkan Fattah, Pak?" tanya Zain.

Fattah hanya bisa terdiam dan menunduk mendengar sang ayah memohon untuk dirinya. Pemuda itu merasa ingin berbicara dan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya pada ayah dan kepala sekolahnya, tapi ia tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

"Maaf, Pak. Kami sudah lebih dari tiga kali mengingatkan Fattah juga Bapak, supaya Fattah bisa menjaga sikapnya. Tetapi perbuatan Fattah kali ini sudah tidak bisa ditoleransi. Siswa kelas dua belas yang berkelahi dengan Fattah mengalami perdarahan hebat. Sebelum sekolah ini tercoreng nama baiknya, dengan berat hati, kami melepaskan Fattah. Mengizinkan dia untuk bersekolah di tempat lain," ungkap kepala sekolah.

Zain menatap Fattah dan menarik napasnya dengan berat.

"Maaf, kalau urusan di kepolisian apakah sudah selesai, Pak?" 

"Alhamdulillah sudah, Pak."

"Ya sudah, jangan lupa urus juga perpindahan Fattah dari sekolah ini, Pak. Semua ini demi kebaikan bersama, bisa jadi tempat ini tidak cocok untuk Fattah."

"Baik, Pak. Saya akan segera urus perpindahan sekolah Fattah."

Zain menyerah.

***

Sampainya di rumah, Zain meluapkan emosi pada anak bungsunya. Duda dua orang anak itu meminta Fattah untuk duduk di kursi. Ia berdiri, agar dengan muda memandangi Fattah yang duduk tepat di hadapannya.

Zain berbicara pada Fattah dengan nada tinggi. "Ayah nggak habis pikir sama kamu, Fattah! Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan berantem! Memangnya apa yang kamu dapatkan setelah menyakiti anak orang?"

"Yah, Demi Allah bukan Fattah yang mulai duluan!"

"Jangan bawa-bawa nama Allah!" 

"Ayah pernah enggak, sih, sekali aja nanya, apa alasan Fattah berantem?"

"Alasan apa pun tidak dibenarkan jika kamu menyakiti atau membunuh orang!"

"Siapa yang ngebunuh, Yah?"

"Anak yang kamu gebukin itu nyaris mati! Perdarahan hebat di kepalanya, Ayah yakin kamu pasti tahu kalau ada kaca yang menancap di kepala bagian belakang anak itu! Apa namanya kalau bukan mau membunuh?"

"Terserah Ayah! Bodo amat! Orang kayak dia itu mending nggak usah hidup sekalian. Parasit!!" pekik Fattah dan berlalu meninggalkan Zain.

Zain duduk lemas pada kursi yang ada di depan, ia menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.

"Ya Allah, hamba bingung! Harus bagaimana lagi mendidik Fattah agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi?" ungkap Zain menarik keras rambut kepalanya. "Astaghfirullahal'adzim!!" Zain pun berlalu menuju kamarnya.

Lihat selengkapnya