“Bagaimana, Rayya?”
Aku menoleh mendengar suara Sofia yang duduk di sebelahku. Aku hanya mendesah dan menggeleng. “Kamu bagaimana?”
Sahabatku itu ikut-ikutan mendesah. Kami sama-sama tersenyum kecut sambil menatap lantai. Aku menarik napas panjang. Hari ini adalah pengumuman kelulusan ujian masuk di jurusan yang kuinginkan. Ini tahun kedua aku mencoba. Lulus SMA, aku diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di kota ini dan memutuskan untuk menjalani perkuliahan sambil ikut bimbingan belajar demi diterima di Fakultas Kedokteran. Aku bertemu Sofia di bimbingan belajar ini. Berbeda denganku, dia tidak berkuliah dan fokus persiapan ujian masuk PTN sehingga aktivitasnya setahun terakhir hanya berkutat antara kamar kos dan bimbel.
“Rayya, aku pulang aja, ya. Aku pengin meratapi nasib aja di kosan. Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Sofia.
Aku mengangguk. “Aku ada kuliah pukul 1. Sepertinya aku mau langsung ke kampus aja, though I don’t feel like it,” jawabku lesu.
“I know the feeling, Honey …. Tapi kita jangan menyerah, ya. Masih ada kesempatan terakhir. SPMB di depan mata!” Sofia tersenyum menyemangatiku walaupun dia juga merasakan kegagalan yang sama. Aku berjalan ke parkiran motor setelah berpamitan dan melaju menuju kampus.
Impian Sofia adalah kuliah di Fakultas Farmasi. Dari rumahnya di Bandung, Sofia sengaja merantau ke Jogja untuk fokus bimbel. Dan di bimbel inilah kami bertemu setahun lalu. Latar belakang keluarga yang mirip membuat kami cepat akrab dan dekat. Ayahku seorang kiai di sebuah pesantren di Jombang dan Abah Sofia seorang aktivis dakwah di Bandung. Semenjak pertama berkenalan, kami ibarat surat dengan prangko. Tanpa prangko, surat tak akan lengkap, begitu pun sebaliknya. Kami juga menjalani semuanya bersama. Mulai dari maraton mengerjakan ratusan bahkan mungkin ribuan soal, hingga mengendarai sepeda motor berdua di tengah hujan deras dan terik panas demi mengikuti semua try out yang ada.
Aku kembali menarik napas panjang ketika teringat bagaimana perjuanganku setahun terakhir demi masuk ke Fakultas Kedokteran. Sebelumnya, aku tak pernah tahu rasanya berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Semua mudah kudapatkan. Baru sekarang aku bersusah payah belajar tanpa henti. Dan ketika hasilnya masih juga gagal, kesedihan yang teramat sangat terasa menusuk hatiku.
Tanpa kusadari, aku sudah memasuki halaman parkir di kampusku. Perkuliahan akan dimulai lima menit lagi. Aku berlari menyeberangi halaman dengan tergesa karena tak ingin terlambat. Ruang kuliah ada di lantai 4 gedung tinggi yang terletak di ujung halaman ini. Dengan terengah-engah aku menaiki anak tangga satu per satu.
Teman-temanku sudah duduk manis di tempat masing-masing ketika aku membuka pintu. Rina menunjuk bangku kosong di deretan paling depan. Aku tersenyum penuh rasa terima kasih. Teman-teman dekatku tahu aku selalu memilih tempat duduk paling depan setiap ada kuliah. Mereka selalu menyisakan kursi paling depan untukku.
“Bagaimana hasil tesmu?” bisik Cunil dari kursi belakang.
Aku menoleh dan menggeleng. “Belum.”
“Yah, berarti kamu harus ikut SPMB?”
Kuanggukkan kepala. Aku menghela napas panjang, entah yang keberapa kali sejak melihat pengumuman kelulusan itu. Sebelum aku sempat menjawab panjang lebar, dosen kami keburu masuk.
Perkuliahan siang itu tak ada sedikit pun yang masuk ke kepala. Pikiranku melayang-layang ke tepat setahun lalu ketika baru saja memutuskan untuk daftar bimbel agar bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Aku yang saat itu mahasiswa baru di Fisipol, duduk di ruang kuliah yang sama dengan saat ini.
Saat itu hari pertama mata kuliah sejarah nasional Indonesia. Teman-teman dekatku duduk berjejer di kiri-kanan. Kami baru kenal selama seminggu. Namun, sama seperti hubunganku dengan Sofia, aku pun langsung dekat dengan mereka yang semuanya berjumlah 5 orang ini.
Kuliah hari itu awalnya kupikir akan berjalan membosankan. Maklum, tak semua dosen mampu membawakan mata kuliah sejarah dengan menarik. Namun, dugaanku berubah ketika sang dosen ternyata menceritakan sesosok pejuang kemerdekaan dengan sangat atraktif.