Sekosong Jiwa Kadaver

Falcon Publishing
Chapter #3

Bab 2

Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an disusul bacaan wirid istighotsah terdengar memasuki jendela kamar. Aku perlahan mengerjapkan kedua mata. Rasa pusing menyergap ketika aku mencoba mengangkat kepala dari bantal.

Kulihat jam dinding di tembok kamar menunjukkan pukul 04.30. Aku mendesah. Aku terlambat bangun. Tahajud yang biasanya rutin kulakukan setiap dini hari terlewatkan pagi ini. Dengan kepala berdenyut, aku pun melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Hari ini hari pengumuman SPMB. Tadi malam aku tak bisa tidur karena gelisah. Berulang kali kucoba pejamkan mata tetapi pikiran malah melayang ke mana-mana. Jantung yang berdebar kencang dan keringat dingin yang terus keluar membuatku menyerah. Akhirnya aku SMS-an dengan Sofia hingga larut tengah malam dan tertidur pukul 1 dini hari, setelah mengucapkan selamat tidur kepada Sofia.

Suara bacaan istighotsah yang tadi terdengar sudah berhenti dan tergantikan oleh keriuhan ratusan santri putri yang sedang bersiap sekolah. Nantinya keriuhan itu akan berubah menjadi keheningan saat mereka akhirnya berangkat sekolah.

Saat masih kecil, biasanya aku mengikuti ritme para santri di rumahku. Selepas salat Subuh aku akan menyiapkan buku pelajaran yang harus dibawa ke sekolah hari itu. Aku kemudian mandi dan sarapan bersama Rizal, adikku, sebelum keluar gerbang rumah bersama para santri dan berangkat ke Madrasah Ibtidaiah atau MI yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah kami.

Mbak-mbak santri di rumahku rata-rata berada di usia SMP dan SMA. Saat aku berjalan ke gerbang, mereka akan berebut menyapa. Terkadang bahkan ada yang usil mencubitku karena gemas. Aku sebenarnya tak nyaman dengan perlakuan mereka, tetapi apalah dayaku yang tak mungkin membalas karena mereka lebih besar.

Di luar itu, aku sebenarnya tidak masalah dengan keberadaan mereka. Apalagi Ibu selalu menasihatiku untuk bersikap ramah dan baik kepada mbak-mbak dan mas-mas santri di rumah kami. Kata Ibu, para santri adalah thoolibul ilmi atau pencari ilmu. Keberkahan banyak sekali menyertai mereka karena bahkan para malaikat pun membentangkan sayap untuk melindungi mereka.

Keberkahan dan doa malaikat untuk para santri itulah yang kata Ibu akan menjadi keberkahan juga untuk keluarga kami. Apalagi kami di sini merawat para santri karena meneruskan amanat dari para leluhur kami yang mendirikan pesantren. Ibu bilang, kami bisa mendapatkan banyak pahala dari Allah jika ikhlas merawat para pencari ilmu ini.

Ya. Rumahku adalah pesantren yang sudah berusia lebih dari seratus tahun. Pesantren ini didirikan di Desa Rejoso di Jombang oleh kakek buyutku yang merantau dari tanah kelahirannya di Jeddih, sebuah desa di Bangkalan, Madura. Setelah itu, pesantren ini dilanjutkan turun-temurun oleh kakek, para paman, ayah, dan juga kakak-kakak sepupu dan mindoanku. Hingga kini, pesantren kami memiliki 10.000 santri dan 12 unit sekolah yang dikelola bersama- sama oleh keluarga besarku.

Lihat selengkapnya