Sekosong Jiwa Kadaver

Falcon Publishing
Chapter #4

Bab 3

121455 ... 121455 ... 121455 ... mulutku komat-kamit mencari nomor ujianku. Tanganku terus menyisir nomor ujian demi nomor ujian di lembaran itu. Dan akhirnya, 121455! Aku menemukannya. Tepat di sebelahnya, tertera nomor jurusan kuliah di mana aku diterima: Fakultas Kedokteran Bali. Pilihan keduaku!

Aku mengerjapkan mata berulang kali. Mencoba memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Kuulang-ulang membaca nomor ujian dan jurusan kuliahku. Setelah yakin tidak bermimpi, aku pun menutup lembaran koran pagi dengan perasaan lega luar biasa. Leher yang tadinya kaku karena tegang sekarang mulai mengendur.

Alhamdulillah, akhirnya tuntas juga perjuanganku.

“Bagaimana, Nak, kamu lulus?” Ibu tiba-tiba muncul di pintu ruang makan. Kulihat Ibu masih mengenakan mukena, tanda bahwa Ibu langsung mencariku selepas Salat Dhuha.

Aku tersenyum kepada Ibu. “Nggih Bu, alhamdulillah.”

“Alhamdulillah ... diterima di mana?”

“Di FK Bali.”

Ibu tersenyum menatapku. “Sesuai dugaan Ayah berarti. Dari kemarin Ayah dawuh bahwa beliau punya firasat kamu akan ke Bali. Sekarang kamu ke kamar, matur hasil tes ini biar Ayah tenang.”

Nggih, Bu,” jawabku sambil berjalan ke luar menuju kamar Ayah.

Aku tak bisa menahan senyum yang muncul di wajah. Aku bahagia sekali pagi ini. Semua ketegangan yang kurasakan beberapa hari terakhir akhirnya menguap keluar dari tubuh. Badanku mendadak terasa sangat ringan.

“Ayah?” sapaku sambil mengetuk pintu kamar Ayah.

“Masuk saja. Kenapa?” Terdengar suara Ayah dari dalam kamar.

“Alhamdulillah kulo diterima di FK Bali, Yah,” jawabku.

“Alhamdulillah. Iya, Rayya.” Ayah tersenyum tipis. Aku membalas senyum Ayah tepat sebelum Ayah berpaling untuk membaca kembali kitab yang sedang dipangkunya.

Ayah sedang muthola’ah kitab seperti biasanya. Ayah selalu melakukan itu berjam-jam setiap hari sebagai persiapan mengajar mengaji kepada para santri. Aku tahu Ayah tak bisa diganggu jika sedang muthola’ah. Aku sendiri biasanya tak banyak bicara dengan Ayah. Kami kadang makan atau beraktivitas bersama di ruang tamu. Namun, aku memang tak terbiasa bercerita panjang lebar kepada Ayah sebagaimana yang biasa kulakukan bersama Ibu.

“Rayya,” terdengar suara Ayah memanggilku, tepat sebelum aku menutup pintu kamar. “Ayah sudah punya firasat kamu akan diterima di Bali. Itu alasan kenapa Ayah memintamu memilih Bali sebagai pilihan kedua.”

Nggih, Yah. Alhamdulillah akhirnya diterima betulan. Matur nuwun, Ayah,” jawabku sambil tersenyum menatap Ayah.

Aku teringat perdebatanku dengan Ayah di awal pemilihan universitas saat pendaftaran SPMB. Kampusku di Jogja memang sudah tidak lagi menjadi pilihan karena sedikitnya kursi yang tersedia untuk SPMB.

Akhirnya, FK di Surabaya menjadi pilihan pertama dan FK di Solo menjadi pilihan keduaku. Aku memilih keduanya dengan berbagai pertimbangan terkait passing grade dan besarnya jumlah peminat. Kedua FK tadi adalah pilihan ideal menurutku.

Lantas, sesaat sebelum pendaftaran dibuka, Ayah tiba-tiba mengusulkan agar aku memilih FK di Bali sebagai pilihan kedua. Ayah beralasan, banyak alumni pesantren kami yang tinggal dan bekerja di sana. Termasuk Pak Haji, seorang wali santri yang baru saja ditemui Ayah saat beliau berkunjung ke Bali tahun lalu. Ayah merasa, Bali akan menjadi tempat yang tepat untukku.

Awalnya, aku menolak usulan Ayah karena ragu. Bali adalah tempat asing bagiku. Sekalipun, aku tak pernah berkunjung ke Bali. Yang kutahu tentang Bali hanyalah betapa indah pariwisatanya. Selebihnya, aku tak tahu apa-apa tentang Bali.

Lihat selengkapnya