Dan akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun datang.
Hari ini aku berangkat ke Bali. Sejak bangun tidur, aku sudah sangat bersemangat. Koper kecil dan tas ransel sudah kujejerkan di dekat ranjang sejak tadi malam, termasuk tiket pesawat yang sudah dibelikan Pak Rahmat untuk kami bertiga. Begitu bangun, aku langsung duduk tegak di atas tempat tidur untuk mengecek tiket pesawat. Aktivitas mengecek tiket ini kulakukan setiap pagi dalam beberapa hari terakhir untuk memastikan bahwa ini semua bukanlah mimpi.
Setelah meletakkan tiket pesawat kembali ke tempatnya, aku pun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, aku menggelar sajadah untuk Salat Tahajud. Selesai salat Tahajud, aku melanjutkan dengan Salat Witir dan Hajat. Salat Hajat adalah salat sunah yang kita lakukan ketika ada hajat yang ingin kita pinta kepada Allah. Waktunya bebas kapan saja asal bukan di waktu- waktu yang diharamkan untuk salat.
Aku sendiri biasanya melakukan salat Hajat setiap malam Jumat bakda Magrib atau hari Jumat dini hari seperti sekarang. Bukan apa, tapi ini sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan oleh Mbah Putri kepadaku dan para santri sejak aku mondok di sana selepas MI. Biasanya, setiap malam Jumat kami akan berjemaah salat Magrib yang kemudian diikuti dengan salat Sunah Rawatib dan salat Hajat. Setelah itu kami akan membaca surat Al-Kahfi sambil menunggu azan Isya. Kebiasaan ini akhirnya melekat kepadaku hingga hari ini.
Kupandang jam dinding yang menunjukkan pukul 4 pagi. Azan Subuh mulai berkumandang dari masjid pesantren kami disusul dari masjid-masjid sekitar. Aku pun menunggu azan selesai sebelum kemudian mengetuk kamar Ayah dan Ibu untuk berjemaah subuh bersama. Jika Ayah tidak sedang menjadi imam salat berjemaah di masjid seperti hari ini, Ayah akan berjemaah di rumah bersama kami.
Selesai salat, aku pun kembali ke kamar untuk membaca istighotsah. Tak seperti biasanya, kali ini aku membaca istighotsah dengan cepat. Aku ingin segera selesai karena tak sabar ingin menjalani hari ini, hari terpenting dalam hidupku. Hari ketika akhirnya aku akan terbang menyeberangi pulau untuk menuntut ilmu ke Bali sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Aku pun akhirnya mengeluarkan buku diariku dari meja belajar begitu selesai membaca istighotsah. Aku duduk di kursi, mengeluarkan alat tulis, dan mulai menulis di buku diariku.
Dear dr. Tjipto,
Maafkan aku yang baru berkabar padamu. Hari ini aku akan terbang ke Bali, pulau tempat impianku untuk menjadi dokter sepertimu akan tercapai. Barusan aku memeriksa ulang tiket pesawat dan kulihat jam penerbanganku tidak berubah, tetap jam 17.30 WIB.
Jangan tertawa, Dok. Aku memang mengecek tiket pesawatku setiap bangun tidur di pagi hari. Aku hanya ingin memastikan bahwa semua ini bukan mimpi, dan bahwa betul aku memang akan terbang ke Bali hari ini. Selain itu, aku juga ingin memastikan bahwa aku tidak terlambat datang ke bandara. Bagaimana tidak, bandara terdekat dari rumahku adalah Bandara Juanda di Surabaya. Jarak tempuh ke sana kurang lebih 1,5 jam. Itulah kenapa, hari ini aku, Ayah, dan Ibu akan berangkat ke bandara pukul 14.00 tepat supaya kami tidak tertinggal pesawat.
Penerbangan ke Bali hanya memakan waktu 1,5 jam saja dari Surabaya. Jangan dibayangkan perjalanan ini akan menghabiskan waktu berhari-hari seperti jaman perjuanganmu dulu, Dok. Di sekitar tahun 1906 saat pertama engkau masuk STOVIA sebagai mahasiswa kedokteran, transportasi paling canggih adalah kereta api dan trem. Itu pun keduanya masih membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengantarkanmu berangkat dari Surabaya menuju Batavia.
Engkau pun bisa naik kereta atau trem karena anak bangsawan, sementara rakyat jelata yang tak seberuntung engkau malah hanya bisa menggunakan delman untuk transportasi. Itu juga, kan, yang membuatmu gelisah? Engkau merasa banyak hal di sekitarmu tampak timpang dan tak adil. Sejujurnya, aku mengagumi kepedulianmu kepada penduduk bumiputra yang tak seberuntung engkau. Kenyamanan dan fasilitas sebagai bangsawan ternyata tak membuatmu terperdaya.