“Ke ... kenapa, Bu?” Aku tak mampu menyembunyikan kekagetanku.
Apa yang terjadi? Kenapa Ayah dan Ibu mendadak batal mengantarkanku ke Bali?
Ibu tampak menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. “Kamu tahu Kiai Adnan? Sahabat Ayah yang juga alumni pesantren kita?”
Aku mengangguk. Aku sering mendengar nama Kiai Adnan disebut dalam beberapa pembicaraan antara Ayah dan Ibu di meja makan, meski aku sendiri belum pernah bertemu dengan beliau.
“Kami barusan dapat kabar bahwa beliau meninggal mendadak karena serangan jantung tepat setelah salat Jumat siang ini,” lanjut Ibu.
“Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun ...” ucapku kaget.
“Nah, Ayah dan Ibu harus berangkat ke Madura sekarang untuk takziah. Beliau salah satu sahabat terdekat kami. Untuk itu, Ibu betul-betul minta maaf karena belum bisa mengantarkanmu ke Bali,” kata Ibu. “Tadi Ayah dan Ibu sudah berdiskusi, insyaallah bulan depan kami akan menjengukmu ke sana, sepulang pengajian Ayah dari Jambi.”
“Nggih, Bu.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Jadi, aku harus berangkat sendirian ke Bali sore ini. Tiba-tiba perasaan gugup dan cemas menghinggapi.
“Bu, sudah siap?” tanya Ayah.