Sekukuh Karang Seluas Samudera

Redy Kuswanto
Chapter #2

Mengambil Sikap

Yogyakarta, 2020

GERIMIS masih menitik ketika kubuka pintu kaca sebuah café berarsitektur semi Eropa. Maret hampir berakhir, tetapi musim penghujan seolah enggan digantikan kemarau. Kerap kali gerimis mulai menyapa tiba-tiba di tengah hari, dalam cuaca yang terik. Lantas rintik itu menderas dan menjelma hujan. Cuaca selalu berubah-ubah belakangan ini, bukan kabar baik bagi yang bertubuh rentan. Terlebih dalam kemelut Covid-19 yang tengah meresahkan dunia. Orang-orang dengan daya tahan tubuh rendah, harus ekstra waspada dan serius melakukan tindakan preventif.

Seperti banyak kota di Indonesia, Yogyakarta pun tidak luput dari pandemi virus corona. Maka tidak mengherankan jika kota dan jalanan menjadi lengang. Sekolah-sekolah dan banyak perkantoran diliburkan. Beberapa pasar, mall, toko dan obyek wisata ternama terpaksa harus tutup, demi mengantisipasi kerumunan massa dan penyebaran virus. Banyak yang kemudian mengisolasi diri dan memilih tinggal di rumah sesuai anjuran pemerintah melakukan social distancing. Jika tidak berkepentingan, sejujurnya aku pun enggan berada di sini menuruti kemauan Rasti.

Sebelum duduk pada sofa di sudut ruangan yang selama ini menjadi tempat favorit, kubersihkan kedua tangan di wastafel. Bahkan jauh sebelum isu virus corona merebak di seantero jagad, café ini telah memiliki area terbuka khusus untuk mencuci tangan para pengunjung. Letaknya strategis dan gampang terlihat oleh siapa pun. Ia berada pada dinding sebelah kiri, sekira tiga langkah setelah pintu masuk dan sebelum ruangan utama. Dalam situasi seperti sekarang, wastafel ini menjadi alat perlindungan diri yang istimewa dan banyak dibutuhkan orang.

Aroma lemon menguar manakala cairan hand soap melumer di telapak dan jari-jari tangan. Busanya yang lembut sungguh memberikan sensasi kenyamanan tersendiri. Aku menikmati. Tidak lebih dari dua puluh lima detik untuk membersihkan tangan secara baik dan benar. Sedetik setelahnya, gegas kukeringkan dengan sapu tangan yang selalu kubawa di dalam tas, membuka masker dan memeriksa wajah di cermin. Hmm… masih cukup segar untuk wajah yang tidak ber-make up tebal. Aku sedikit malas memang merias wajah jika tidak untuk berkegiatan penting dan mengharuskan bertemu banyak orang. Tampil natural, rasanya tidak terlalu buruk.

Agak lama kupandangi bayangan diri dalam cermin. Dua mata bulat yang cerlang mendampingi pipi putih yang sedikit merona. Dilengkapi dagu yang lumayan lancip, sungguh sempurna untuk ukuran wajah perempuan Asia. Aku bukan narsis, tetapi sungguh selalu tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan terima kasih kepada mama dan papa yang telah mewariskan kecantikan ini padaku.

Mama yang anggun dan asli Sunda telah mewariskan kecantikan sepenuhnya padaku. Segaris bibir halus dan indah melengkapi wajah oval berdagu menggemaskan ini, seperti copy-paste dari perempuan berhati emas itu. Sementara papa yang konon berdarah asli Yogyakarta, mewariskan mata yang jernih dan bulat, rambut legam dan hidung mancung. Perpaduan keduanya, menghadirkan secetakan wajah yang begitu indah dan sedap dipandang. Ya, Tuhan. Tiba-tiba saja aku sungguh merindukan keberadaan mereka. Andai saja papa dan mama....

Sesaat aku menggeragap. Ketika samar-samar wajah kedua orang terkasih hadir dalam benak, saat itulah dalam cermin melintas bayangan sosok yang sama sekali tidak asing. Atma Darmesta, tunanganku. Tanpa harus membalikkan badan untuk memastikan pun, aku meyakini penglihatanku tidak salah menangkap. Aroma woody dan cinnamon yang menguar lembut dari tubuh lelaki jangkung berkulit cokelat bersih itu, amat akrab di penciuman. Aku mengenalinya tentu saja.

“Tika, kamu harus cepetan datang ke kafe langganan kita. He will be there soonwith a woman that I told you several times.” Demikian pesan Rasti setengah jam yang lalu melalui pesan WhatsApp. “Dan kamu akan menarik ucapanmu bahwa aku telah salah menilai Atma. Hurry up pokoknya. Kamu akan berterima kasih padaku setelah ini, Tika. He he.”

Ah, Rasti. Selalu saja bisa mengetahui banyak urusan orang lain. Dia laiknya detektif yang bekerja untukku tetapi lebih sering kuabaikan. Sesungguhnya aku bukan tidak mempercayainya. Aku mengenalnya seperti aku mengenal isi dompetku. Dia bukan perempuan pembual yang suka menebar hoax, terlebih pada orang-orang terdekatnya. Hanya saja, selama ini aku tak pernah serius mengurusi Atma dan terlalu santai menyikapi persoalan asmara kami. Bukan aku tidak peduli pada kelakuan lelaki atletis itu akhir-akhir ini. Kartika bukan anak kecil yang bisa dikelabui begitu saja ketika melihat perubahan sikap yang sepertinya tidak dia sadari sepenuhnya. Aku, Kartika, perempuan dua puluh empat tahun ini, sudah kenyang dihadapkan pada banyak persoalan hidup.

Sejujurnya, aku sudah terlampau lelah menyadarkan Atma. Sebanyak aku mengingatkan, sebanyak itu pula dia mengulang. Seperti menghalau ombak di pantai. Sungguh percuma. Satu yang tidak pernah diketahui Rasti, aku bahkan sudah memberikan warning pada lelaki itu. Memutuskan hubungan yang sudah melewati tahap bertunangan, bukan perkara main-main memang. Harga diri dan penentangan ibu taruhannya. Namun apa boleh buat? Jika keadaan ini justru merusak langkah dan membuatku tak bahagia, aku harus berani mengambil sikap, kan? Ya, harus mengambil sikap! Inilah alasan mengapa aku berada di sini sekarang.    

Aku mengenal Atma sudah cukup lama. Hampir empat tahun jika tidak salah hitung. Yang aku tahu, dia bukan lelaki romantis dan penuh perhatian. Justru perubahan sikapnya yang tidak biasa, membenarkan firasat yang awalnya pernah amat kusangsikan. Dia menjadi begitu perhatian... dan romantis tanpa sebab yang jelas. Sebagai perempuan dewasa, aku paham jika Atma menyimpan rahasia. Dia menyayangi perempuan dari masa lalunya. Kamu benar, Rasti. Dia selingkuh. Aku mengetahuinya sejak lama, dan betapa aku benci perbuatannya. Satu-satunya yang membuat aku bertahan dan tetap memelihara pohon cinta untuk Atma Darmesta adalah, rasa hormat dan sayangnya pada ibu. Hmm… cinta? Entahlah. Aku bahkan merasa asing mengucapkannya.

Lihat selengkapnya