Aceh Barat, 2000
IBU menegakkan tubuh pada sandaran kursi kayu yang didudukinya. Garis wajah perempuan itu keras, tetapi tidak tergambar kemarahan. Tangan kanannya merangkul kukuh tubuh kecilku yang berdiri merapat di sisinya. Usia ibu menjelang 60 tahun, tetapi masih ligat dan tubuhnya masih amat bugar. Betapa nyaman sesekali membenamkan wajah di pangkuan perempuan berambut kelabu itu. Aroma khas samping motif kawung yang dia kenakan, tidak akan mampu kuhapus dari ingatan hingga kapan pun. Namun, kurasa ini bukan saatnya bermanja. Ibu sedang serius berbicara dengan tiga orang dewasa di hadapan kami. Mereka adalah mama, papa dan istri pertama papa.
“Jadi… keputusanmu sudah bulat, Rozak?” tanya ibu dalam keheningan dan kekakuan suasana. “Sudah kau pikirkan dengan matang, bagaimana nasib Esih dan Kartika?”
Diam. Ketiga orang di hadapan kami tidak ada yang bersuara, barangkali tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Kekakuan merajai senyap yang menghimpit. Hanya detak jarum jam di dinding papan dan napas-napas kami yang terdengar. Ibu masih menegakkan punggung, dadanya nyaris membusung. Lama sekali dia memandangi wajah-wajah tertunduk di depannya, seperti tengah berharap ada jawaban menggembirakan dari salah satu mulut mereka.
Kudengar sekali lagi tarikan napas ibu agak kasar, seperti tengah menahan kecewa dan mulai kehabisan stok kesabaran. Ibu yang kumaksud adalah Emak Sati, nenekku. Dia bersama abah, suaminya yang telah memelihara aku sejak usia enam bulan. Mama yang telah melahirkanku adalah Esih. Dia yang kini duduk persis di depan ibu. Sedangkan lelaki berpeci yang diapit oleh isteri pertamanya dan mama adalah papaku. Hampir-hampir aku tidak mengenali lelaki bernama Rozak itu. Tidak pula merasa memiliki keterikatan batin. Maklum, hingga usiaku empat tahun kini, papa hanya sesekali menemuiku. Papa dan mama tinggal di perumahan karyawan PT. Socfindo, perkebunan kelapa sawit yang tidak seberapa jauh dari desa kami dan berkantor pusat di Medan. Sekali dalam seminggu dia menjenguk kami di rumah. Bukan hanya bekerja harian, dia juga mengambil jam lembur di persemaian sepulang jam kerja.
Pada awalnya, mama dan papa tidak tinggal di Aceh, melainkan di sebuah desa kecil di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Empat tahun yang lalu, ketika aku berusia delapan bulan dalam kandungan, mereka menyusul ibu dan abah ke Aceh yang bertransmigrasi pada 1980. Malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Persis di hari aku lahir, papa mengalami patah kaki dan tangan kanan. Kala itu ia sedang mengirimkan lamaran pekerjaan ke kantor PT. Socfindo. Truk pengangkut karyawan yang dia tumpangi menuju perkebunan, mengalami kecelakaan.
Sialnya, ketika musibah itu datang, kedua orangtuaku tidak mempunyai simpanan uang sama sekali. Sedikit tabungan yang mereka bawa dari Jawa, terkuras ludes untuk biaya persalinan dan persiapannya. Mama yang belum mengenal siapa-siapa, terpaksa meminjam sejumlah uang dari seorang rentenir desa dan seorang mandor perkebunan yang ibu kenal. Bukan jumlah yang sedikit uang yang dibutuhkan untuk membiayai rumah sakit dan perawatan. Itu sebabnya, perempuan 36 tahun itu rela membanting tulang begitu pulih paska melahirkan. Dia harus mengembalikan uang pinjaman dan sekaligus mengurusi papa yang nyaris tidak mampu lagi berkegiatan. Mama menjadi tulang punggung keluarga, mengumpulkan rupiah demi rupiah dari setiap tetes keringat. Melihat keadaan mama yang memprihatinkan, ibu bersedia memeliharaku. Sejak itu, papa, mama dan kakak lelakiku menghuni rumah karyawan di perkebunan.
Lalu kini, ketika keadaan mulai sedikit membaik, badai bencana tiba-tiba kembali menerpa. Papa memutuskan kembali ke Jawa bersama Ibu Saonah, istri pertamanya. Dia yang ketika datang mengaku telah bercerai, ternyata tidak menikahi mama secara resmi di KUA. Ya, mereka hanya menikah siri tanpa sepengetahuan istri pertama lelaki 42 tahun itu. Entah bagaimana ceritanya, mama seolah tidak mengetahui perihal istri tua itu. Tampaknya dia telah dibohongi.
“Jawab, Rozak!” Ibu kembali bersuara. Tatapannya tajam menggambarkan ketegasan. “Kau bukan anak kemarin sore, tentu sudah bisa merencanakan langkah selanjutnya.”
Lelaki bermata teduh dan lembut itu mengangkat wajah. “Sampai sejauh ini saya belum punya rencana apa-apa, Bu. Maaf…,” jawabnya terpatah-patah. “Tetapi saya sudah berbicara panjang lebar dengan Esih. Dia ikhlas saya tinggalkan untuk sementara waktu….”
“Benar begitu, Esih?” tanya ibu pelan, suaranya jelas menohok. “Benar kau mau bekerja keras sendiri untuk melunasi hutang kalian?”
Mama mengangguk pasrah. “Kalau ini untuk kebaikan bersama, saya ikhlas, Bu. Toh hanya sementara.”
“Kau yakin untuk sementara?” Ibu mengalihkan pertanyaan pada papa, penuh nada selidik.