Aceh Barat, 2001
MESKIPUN kondisinya tidak seratus persen stabil, mama masih bekerja di perkebunan. Lantas dia menitipkan Adin, kakak lelakiku pada abah dan ibu. Kak Adin adalah anak dari perkawinan mama dengan suami pertamanya. Dengan dititipkannya Kak Adin, kini mama lebih fokus pada pekerjaannya. Waktunya hanya untuk bekerja. Angsuran pinjaman memang tidak sebanyak tahun lalu, namun begitu mama belum bisa menunasinya. Jika saja bulan dalam setahun bisa ditambah, mama pasti menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan memiliki waktu untuk mengansur pinjaman lebih panjang. Namun hidup bukanlah sepenggal episode sebuah fiksi, yang alurnya bisa diubah sesuka hati. Tidak. Mama harus menjalani semua sesuai rencana Tuhan.
Ibu dan abah yang mengandalkan hidup dari bertani, kini sedikit banyak bisa membantu. Bibi Darsih, anak kedua ibu yang tinggal bersama suaminya di Teunom, tentu tidak tinggal diam. Sesekali dia datang menjenguk mama, memberinya kekuatan dan bantuan finansial. Bibi Darsih dan suaminya bukan orang kaya. Keseharian mereka sama seperti ibu dan abah, bertani. Sementara Paman Sarwa, anak bungsu ibu kini bekerja sebagai pimpro perkebunan baru di Peureumbee. Dia yang beberapa tahun menganggur sejak lulus SMA, kini sedikit-banyak bisa membantu meringankan beban mama. Dari hari ke hari, kondisi fisik dan jiwa mama pun berangsur membaik.
Namun siapa yang menduga jika dalam situasi yang lumayan tenang itu, bencana lain menerjang. Minggu kedua Januari, sekelompok tentara pemberontak datang ke rumah di pagi buta. Mereka menghardik kami dan para transmigran di seluruh Kabupaten Aceh Barat. Di bawah ancaman pucuk-pucuk senjata, kami harus meninggalkan desa sebelum Subuh tiba. Ibu dan abah tidak bisa berbuat banyak. Di bawah komando perangkat desa, kami mengikuti arus para pengungsi ke ibu kota kecamatan. Penduduk yang panik gegas meninggalkan desa dan segala yang mereka punya. Tidak ada kesempatan untuk berbenah. Tidak ada sesuatu pun yang bisa kami bawa. Bahkan sebagian dari kami hanya bisa berbekal pakaian yang dikenakan saat itu.
Titik penampungan awal bagi para pengungsi dari Kecamatan Kuala adalah Ujong Fatihah, dekat pasar Simpang Peut. Kami ditempatkan di kantor kecamatan dan gedung-gedung sekolah. Di sanalah seluruh penduduk dari berbagai desa di Kecamatan Kuala berkumpul. Tidak ada kepastian dari pihak pemerintah hendak ke mana selanjutnya kami diungsikan. Lantaran diliputi ketakutan akan ada serangan dari kelompok pemberontak, banyak warga yang kemudian mencari tempat aman. Salah satu yang menjadi tujuan utama adalah Medan dan kota-kota di sekitarnya. Demikian pula dengan kami. Dengan menumpang bus malam, kami meninggalkan Aceh.