Yogyakarta, 2020
RASTI datang tergopoh ke rumah. Entah sejak kapan dia mengubah kebiasaan. Selama ini akan menyampaikan via WhatsApp atau telepon jika ingin mengatakan sesuatu. Terlalu banyak hal yang ingin disampaikan secara langsung, begitu alasannya. Ah, bisa saja. Paling juga dia merasa bosan hanya tinggal di rumah. Anjuran tinggal di rumah memang semakin gencar digaungkan. Sekarang work from home menjadi isu yang santer, setelah sekolah-sekolah dan banyak perkantoran diliburkan. Hanya yang benar-benar berkepentingan yang bisa berkegiatan di luar rumah.
“Ada apa?” tanyaku ketika gadis jangkung berkulit langsat itu mengempaskan tubuhnya di sofa. “Bermasalah lagi sama Danar? Udah, sih, ambil sikap tegas saja kayak aku hehe.”
“Yee, apaan, sih?” Rasti memonyongkan bibir seksinya beberapa centi. “Aku nggak mau ngomongin Danar kok. You have to know, hubungan kami baik-baik saja. Danar nggak kayak cowokmu yang mata keranjang dan sok kegantengan itu. Danar is great!”
Aku tertawa panjang sebelum menanggapi. “Biasanya… kalau ngobrolnya pingin serius dan langsung, hanya ngomongin Danar, kan? Kayak aku nggak kenal Rasti saja hehe.”
“Nggak, Tik. Aku ke sini mau ngomongin kalian.” Rasti membenahi rambut panjangnya yang ikal, menggulung dan mengikatnya. “This is about you, Atma dan Ela, perempuan pemilik kafe yang katanya pingin belajar fotografi itu. Semalam, tiba-tiba Atma telfon aku….”
“Terus, apa menariknya buat aku?”
“Dia bilang, aku harus bertanggung jawab.” Rasti memilin-milin anak rambut yang menjuntai di sisi telinganya. “Katanya, gara-gara aku hubungan kalian jadi berantakan. Dia menganggap aku mata-mata. Penggosip yang nggak suka melihat orang lain bahagia.”
Aku bangun dari duduk dan menarik lengan Rasti. “Kita makan aja yuk? Ngapain ngurusi hal nggak penting begitu? Nih, ya. Mendingan kita makan enak biar sehat dan imun meningkat. Kalau imun kita baik, segala virus nggak akan bisa menyerang. Hayuk, ah!”
Sedetik kemudian, aku menyadari telah bersentuhan lama dengan Rasti. Saat itu pula, aku baru menyadari ternyata gadis campuran Jawa-Manado itu tidak memakai masker sejak ia masuk. Seketika, aku berlalu dari hadapan Rasti dan ke dapur mencuci tangan.
Rasti yang menyusul ke dapur, menjejeriku di wastafel. “Kita ngobrol sambil makan aja, ya? Lama aku nggak ke sini, kangen juga masakan Emak Sati.”
Aku membawa Rasti ke ruang makan setelah mengingatkan dia untuk mencuci tangan. Ruang makan kami berada di beranda bagian belakang, letaknya bersebelahan dengan dapur dan taman open air. Jika hujan tiba, ibu suka sekali duduk berlama-lama di sini. Dia akan setia memandangi curah hujan dan riak air kolam renang serta bunga-bunga yang basah. Suasana seperti itu memang syahdu, terlebih jika ingin menikmati waktu dalam kesendirian.
“Eh, ke mana Emak Sati?” tanya Rasti ketika mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Mungkin dia akan memuji makanan yang tengah dinikmati itu. Hanya saja, dia tidak melihat orang yang akan dipujinya. “Dari tadi aku nggak melihatnya. Sehat-sehat saja, kan?”
Aku menyendok rendang jengkol dari piring. “Alhamdulillah sehat, sih. Cuma memang beberapa hari ini nggak enak badan. Tapi tadi pagi minta diantar Bi Enah ke pasar. Katanya mau menemui temannya… maksudnya, ibu-ibu penjual langganannya. Ada hal penting katanya.”