Indrajaya, 2004
“INI bagaimana, Bu?” Bibi Darsih terlihat bingung melihat keadaan abah. “Segala obat sudah kita coba, tapi Bapak belum membaik juga. Apa kita bawa lagi ke rumah sakit?”
Belum seminggu abah pulang dari rumah sakit. Dokter menyarankan untuk dirawat di rumah saja. Selain karena keadaanya yang lumayan membaik, ibu juga mempertimbangkan masalah biaya. Semua setuju akhirnya abah dibawa pulang, meskipun kalau dipikir-pikir, keadaanya semakin memburuk. Jarang bicara. Jarang makan. Dan kehilangan kesadaran.
Awal pagi itu 18 November, masih dalam suasana lebaran. Tubuh abah yang hitam dan kering, tergolek tanpa daya. Ketika aku dan Kak Adin mengusap-usap kedua kakinya seperti biasa, sama sekali tidak ada reaksi. Tidak ada ekspresi. Hanya kedua bola matanya yang bergerak lemah dan tanpa gairah. Sesekali, bibirnya yang kering dan terkatup menggumam tidak jelas. Bibi Darsih kalut. Sudah berulang kali dia menyarankan, agar abah dibawa lagi ke rumah sakit. Namun, ibu masih bersikukuh tidak mengizinkan. Alasannya sangat tidak masuk di akal sebenarnya.
Tiga hari yang lalu, seorang kokolot dayeuh[1] telah memberinya petuah. Tidak boleh ada anggota keluarga yang meninggalkan rumah dalam dua hari ini. Menurut prakiraan lelaki 90 tahun itu, abah akan mangkat dalam waktu dekat. Sekitar Kamis malam hingga Jumat pagi. Barangkali, ibu tidak enak hati jika mengabaikan pesan kokolot dayeuh atau tetua kampung itu. Entah sudah berapa kali Bibi Darsih menyangkal meskipun Paman Sarmala agak meyakini. Bukankah urusan maut hanya Tuhan yang tahu? Namun di sisi lain, mereka tidak ingin menyinggung perasaan ibu. Hingga akhirnya, bibi meminta izin untuk bicara dengan Abah Tawikrana, si kokolot dayeuh.
“Maaf, Abah. Bukan saya tidak mempercayai perkataan Abah,” kata Bibi Darsih pagi itu, penuh kehati-hatian. “Sebagai manusia, kita wajib berusaha, bukan? Saya paham jika Abah memiliki pengalaman spiritual yang tidak dimiliki orang lain. Tapi, izinkan kami mencoba menolong Bapak. Kami akan membawa Bapak kembali ke rumah sakit.”
Lelaki berkopiyah itu memandangi bibi. “Usahamu akan sia-sia, Nak….”
“Maaf, tidak ada yang akan sia-sia, Bah.” Masih dengan suara lirih, Bibi Darsih menimpali. “Saya percaya, hanya Allah yang bisa menentukan kapan Bapak harus menghadap-Nya. Jadi, mohon izinkan kami menolong Bapak. Biarkan kami tetap berusaha, Bah.”
Kuperhatikan wajah ibu dan beberapa tetangga yang hadir. Mereka hanya tertunduk dengan ekspresi yang beraneka. Tidak ada yang bersuara. Tidak ada seorang pun yang berusaha mendukung Bibi Darsih dan Paman Sarmala. Atau setidaknya berpendapat. Apa saja.
“Kalau menurut kalian itu yang terbaik, silakan.” Setelah beberapa saat terdiam, Abah Tawikrana kembali bersuara. “Tapi menurut perhitungan, bapakmu akan segera pergi.”
Pembicaraan kidmat itu berakhir. Keputusan pun segera diambil; bapak harus segera dibawa ke rumah sakit. Matahari baru sepenggalah ketika seorang tetangga mendapatkan mobil puck up sewaan. Tidak butuh jeda terlalu lama, mobil itu melaju pelan membelah jalan utama desa Indrajaya menuju Cilacap. Sang supir ditemani Paman Sarmala dan Kak Adin, mengendalikan mobil begitu hati-hati. Di bak belakang, ibu, Bibi Darsih, seorang tetangga dan aku duduk berhadapan. Di tengah kami, tubuh abah terbujur lunglai beralaskan tikar dan matras.
Tiba di rumah sakit, abah dibwa ke IGD. Napasnya terlihat satu-satu. Seorang dokter muda dan dua suster segera menangani. Sungkup oksigen dan oximeter dipasang. Namun, ketika jarum infus ditusukkan, kulit tangan abah seolah menolak. Tidak bisa ditembus. Baru setelah percobaan kelima, infus bisa masuk. Itu pun suster bilang kurang sempurna. Dokter dan suter angkat tangan.