Indrajaya, 2007
“MAK, Adin mau ke Bandung.” Suara Kak Adin mengagetkan ibu dan aku yang sedang membereskan sisa barang-barang di warung. “Adin mau kerja di sana. Di pabrik rajut.”
Ibu menghentikan kegiatannya dan duduk di jojodog.[1] “Bukannya mau meneruskan sekolah?” tanyanya tanpa ekspresi menghakimi. “Nggak sampai dua tahun, kamu sudah lulus loh. Kan sayang kalau harus ditinggal begitu saja. Apa yang membuatmu mau berhenti?”
Kak Adin hanya diam mendapat pertanyaan begitu. Seminggu setelah kepulangannya dari Aceh, memang kakakku satu-satunya itu banyak diam. Hampir tidak ada cerita baru yang disampaikan, selain tentang mama yang sedang sakit. Kupikir dia akan masuk sekolah lagi meskipun sudah jauh tertinggal. Padahal ketika masih di Aceh, setiap kali dia telepon atau kirim sms selalu bertanya kapan masuk sekolah. Bagaimana teman-temannya. Dia juga sering bilang bahwa dia rindu suasana sekolah. Namun mengapa sekarang justru dia ingin berhenti sekolah? Terkesan dadakan pula.
“Ada masalah apa?” tanya ibu lagi. “Mau cerita sama Emak?”
“Warung Emak mau ditutup?” Kak Adin justru balik bertanya.
“Rencana begitu,” kata ibu. “Tapi masih dipikir-pikir juga. Kalian tahu, pendapatan dari warung ini tidak seberapa. Selain itu, Emak jarang belanja barang-barang baru karena modalnya sering kurang. Meskipun begitu, Emak akan berusaha mendapatkan uang untuk sekolah kalian. Jangan khawatir, selagi kita mau berusaha, pasti Gusti Allah akan memberi jalan.”
“Iya, Mak.” Ketika mengucapkan itu, kedua mata Kak Adin berkaca, membuat mataku mendadak memanas. “Adin sebanarnya nggak mau menyusahkan Emak. Nggak papa berhenti sekolah. Adin mau cari kerja biar bisa bantu Emak dan Mama. Biar Tika bisa sekolah.”
Mendengar perkataan remaja 19 tahun itu, seketika ada sesuatu yang berpilin di dada. Terlebih ketika menyaksikan ibu ikut-ikutan terisak, aku tak kuasa membendung air mata yang sejak tadi memberat. Kusaksikan, dalam hitungan detik tangan tua yang lincah itu merengkuh cucu lelakinya. Membenamkan wajah pemuda belia yang ringkih itu ke dada. Cucu dan nenek itu berpelukan agak lama. Haru. Pilu. Semua berpadu menciptakan emosi yang terlalu.
“Maaf, Emak menangis bukan karena sedih,” ujar ibu di antara isaknya yang satu-satu. “Emak terharu dan bahagia memiliki kalian. Ternyata cucu Emak sudah besar.”