Indrajaya, 2010
SAKIT Paman Sarmala semakin hari semakin parah saja. Entah sudah berapa kali rumah sakit didatangi, tetapi belum juga ada perubahan. Atas banyak saran dari para tetangga, kyai dan orang pintar pun tak luput didatangkan. Yang membuat ibu dan Bibi Darsih terkadang sedih, keadaan mama juga boleh dibilang semakin memburuk. Dari kabar yang sering dikirimkan Ayah Banta, suaminya diabetes telah menimbulkan banyak komplikasi. Yang paling nyata terlihat pada mata dan ginjal. Mama sudah kesulitan melihat. Karena kehilangan nafsu makan, tubuhnya pun semakin kurus dan kering. Bahkan kedua kakinya sering mati rasa dan tak bisa digerakkan. Akibat dari kondisi ini, mama tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya sebagai karyawan.
“Semoga Gusti Allah memberikan yang terbaik,” ucap ibu di depan Paman Sarmala yang memprihatinkan. Waktu itu Awal Maret yang mendung. “Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan hamba-Nya. Kamu dan kakakmu di Aceh sakit. Ibu sudah mencoba semampu yang Ibu bisa. Sekuat kekuatan yang Ibu punya. Tetapi Gusti Allah tampaknya belum berkehendak. Ayo, semangati dirimu kalau memang mau sembuh.”
Paman Sarmala hanya mengangguk lemah pada ibu. Matanya yang sembab, kini berkaca. “Ma...af. Maaf… kan,” ucapnya lirih dan satu-satu. “Dulu… saya… sering am… bil rokok.”
“Sudah, tak perlu dipikir. Ibu ikhlas kok.”
“Ko… pi juga. Ma… af….”
Ibu meraih tangan kanan lelaki itu dan berbisik. “Ibu sudah memaafkan kelakuanmu, sebelum kamu memintanya. Kopi dan rokok bukan masalah.” ujarnya perlahan. “Ibu berterima kasih atas keberanianmu menjenguk kakakmu di Aceh. Sungguh, Ibu kagum dan bangga….”
Melihat kondisi kesehatan Paman Sarmala sejak dua tahun lalu, sejujurnya Bibi Darsih dan ibu tidak banyak berharap. Jikapun lelaki itu bisa berumur panjang, dia akan meneruskan hidup dengan keadaan yang tidak baik. Hingga sekarang, belum diketahui jenis penyakit yang dideritanya. Dari hari ke hari, keadaan fisik dan jiwanya semakin renta. Lemah. Hilang tenaga dan kesadaran. Dia yang dahulu gempal dan gagah, kini hanya tinggal tulang berbalut kulit yang menghitam. Perutnya membuncit, mengingatkanku pada anak-anak penderita busung lapar di Afrika. Celakanya, beberapa dokter yang menanganinya telah angkat tangan. Mereka tidak bisa menemukan penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuh Paman Sarmala.
Adalah hal yang sangat membingungkan ketika secara medis tidak ditemukan jenis penyakit apa pun di tubuh paman. Putusan dokter sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Secara kasatmata ada sesuatu dalam tubuh lelaki ligat semasa mudanya itu. Gumpalan dalam perut yang kerap menyesak ke hulu hati dan leher, bengkak di kedua betis, dan bilur-bilur serta lebam yang kadang muncul di bagian wajah. Tidak mengherankan jika kemudian muncul banyak selentingan, Paman Sarmala telah diikuti dan diganggu makhluk gaib. Ada pula yang berkata, dia telah dikirimi guna-guna oleh seseorang yang pernah atau sedang membencinya.
“Coba sekarang diingat-ingat, Teh,” cetus seorang tetangga pada Bibi Darsih. “Barangkali Kak Sarmala pernah menyakiti orang. Kita bisa datangi untuk meminta maaf.”
“Sejauh yang saya kenal, Sarmala orang yang baik,” tegas ibu, berusaha meyakinkan. “Dia termasuk orang yang peduli dengan sesama. Perasaannya halus dan cenderung mudah simpatik. Tetapi namanya manusia, barangkali memang pernah menyakiti orang baik disengaja atau tidak.”
“Atau mungkin dia pernah mendatangi suatu tempat yang dikeramatkan,” celetuk tetangga yang lain. “Bisa jadi ada penunggu tempat yang tidak menyukai perbuatannya.”
Bibi Darsih dan ibu sebenarnya ingin mengabaikan semua gosip yang menerpa. Namun, gosip tidak sedap itu semakin santer saja. Hidup di kampung memang seperti itu. Selain mudah percaya pada klenik, orang-orang juga mudah mempercayai gosip. Pada awalnya Bibi Darsih meyakinkan dirinya, gosip itu tidak benar. Namun, para tetangga mencekoki setiap hari, dari mulut satu ke telinga yang lain, dari telinga ke mulut yang lain. Pelan-pelan gosip itu menjelma doktrin, lantas kenyataan; ada makhluk gaib yang merasa terganggu oleh perbuatan Paman Sarmala.
“Saya sebenarnya curiga dari awal, Bu.” Bibi Darsih menghadap ibu sore itu. “Bisa jadi omongan para tetangga ada benarnya. Ibu tahu, kami memang sering ke makam di Ciamis. Kakak berhasrat mendapatkan harta terpendam di sana. Setiap datang, dia melakukan ritual dan bertapa. Saya tahu juru kunci dan petugas jaga melarang Kakak melakukannya. Tetapi dia selalu nekad dan berakhir ketegangan. Mereka terpaksa mengalah.”
“Ya sudah begini saja.” Ibu memberikan usul. “Ini bukan karena Ibu mempercayai omongan orang itu. Tetapi tidak ada salahnya kita berusaha. Panggil Kyai Mursid dari Desa Bentar. Minta dia untuk mendoakan suamimu. Kalau kamu setuju, biar Adin yang ke sana. Minta tetangga yang bisa dipercaya mengantarnya. Kasian suamimu kalau begini terus.”