Sekukuh Karang Seluas Samudera

Redy Kuswanto
Chapter #20

Sakit yang Serupa

Indrajaya, 2012

KEPERGIAN Paman Sarmala rupanya menorehkan luka yang begitu dalam bagi Bibi Darsih. Separuh jiwa perempuan mungil itu seperti hilang. Sejak kepergian suami tercintanya, bibi mendadak menjadi penyendiri. Dia seperti sengaja menarik diri dari pergaulan. Karakternya yang dulu lincah, kini berubah pendiam. Setiap kali mendengar atau menyaksikan cerita sedih, perempuan itu akan histeris. Berhari-hari bahkan. Ibu yang berusaha menjadi teman, sering pula diabaikan. Melihat keadaan anak keduanya demikian, ibu memboyongnya ke rumah. Bibi pun tidak keberatan kembali tinggal serumah. Karena sejak awal kepulangannya dari Aceh, dia dan Paman Sarmala menumpang di rumah ibu beberapa lama. Baru kemudian ketika Paman Sarmala memiliki sedikit uang, mereka membuat rumah kecil dan sederhana. Namun kini rumah itu terpaksa dikosongkan.

Waktu itu minggu awal di bulan Juli. Aku baru saja menjadi siswa SMA. Karena sekolahku di kecamatan, aku tidak lagi jalan kaki seperti saat di SMP. Jarak rumah ke kecamatan sekira lima kilo meter. Rasanya tidak mungkin bisa ditempuh dengan berjalan kaki, apa lagi jika harus setiap hari. Untungnya ada angkutan milik penduduk, sebuah mobil colt dengan bak terbuka. Namun hari itu, seorang teman lelaki mengantarku pulang dengan membonceng motornya. Selayaknya teman, aku menawarinya masuk untuk minum atau makan pecel buatan ibu.

Ibu tidak ada di rumah ketika kami masuk. Barangkali dia masih ngider pecel ke rumah-rumah. Kudapati Bibi Darsih sedang duduk di kursi kayu dan menghadap pintu. Aku menyapa dan menyalaminya seperti biasa. Darma, temanku melakukan hal yang sama. Namun kami terperangah ketika Bibi Darsih mendadak berdiri. Dalam hitungan detik, perempuan itu menghambur dan mencekik Darma. Mendapat serangan mendadak dan tak disangka-sangka, pemuda berwajah halus itu ambruk. Aku gegas berlari dan berusaha membantu Darma berdiri.

“Orang ini harus mati!” teriak Bibi Darsih sambil berusaha menjejakkan kakinya di tubuh Darma. “Kerjamu hanya mengusik ketenanganku. Masuk tidak pernah wuluk salam!”

Lihat selengkapnya