Sekukuh Karang Seluas Samudera

Redy Kuswanto
Chapter #21

Menakar Kedewasaan

Yogyakarta, 2020

MOBIL putih yang kukendarai meluncur pelan menuju Bantul. Jalanan lengang. Sejak dari Kusumanegara, hanya beberapa kendaraan saja yang berpapasan. Toko-toko di sepanjang jalan nyaris semuanya tutup. Jikapun masih ada yang buka, terlihat sepi. Bahkan beberapa jalan atau gang ditutup, mengantisipasi para pendatang dari luar. Sebenarnya pemerintah pusat belum memberlakukan lock down untuk Yogyakarta. Sultan Hamangkubuwono X selaku gubernur, tidak pula melakukannya. Melihat kondisi terakhir di Yogyakarta, rasanya keputusan gubernur sangat diperlukan dan sudah selayaknya mendapat dukungan. Namun nyatanya, ia belum memutuskan apa pun terkait pengamanan kota dari para pendatang. Untungnya, masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi. Di banyak tempat, mereka melakukan lock down mandiri.   

“Ibu masih ingat jalannya, kan?” Aku bertanya ketika memasuki Jalan Samas.

“Nanti patokannya gedung SD Negeri 1 Palbapang.” Ibu memeriksa Google Map di hp-nya. “Kalau dilihat di sini, memang jauh dari jalan, tapi sebenarnya dekat. Dari SD nanti ke timur sedikit. Kita cari atau tanya lapangan sepak bola Guyengan, di selatan masjid.”

Sesuai arahan ibu dan bantuan Google Map, tempat yang kami cari pun tidak terlalu sulit ditemukan. Aku masih ingat lapangan ini. Saya kami berkunjung, tenda besar dan barak-barak berdiri di atasnya. Lalu di sisi lapangan, onggokan sampah dan puing-puing rumah menggunung. Namun, pemandangan itu tidak kami temukan sekarang. Rumah-rumah berdidi kukuh dengan jarak yang kadang terlalu kerap. Lorong-lorong jalan bersih terawat dihiasi pohon-pohon penghijau yang subur. Melihat keadaan ini, kami kesulitan di mana letak rumah papa.

Berpatokan pada lapangan, dahulu di utaranya ada sebuah rumah yang dijadikan dapur umum. Berjarak beberapa rumah dari sana, sedikit ke selatan, itulah rumah papa. Bayangan masa lalu dan keadaan sekarang, sungguh begitu kontras. Baik ibu maupun aku, masih kesulitan menemukan arah. Kami pun memutuskan bertanya pada warga di salah satu rumah.

“Rumah Bu Onah?” Seorang gadis muda balik bertanya untuk meyakinkan. “Kalau rumahnya memang sudah dibangun. Baru. Tapi bukan milik Bu Onah lagi.”

Ibu bertanya. “Sudah dijual?”

“Sepertinya begitu, Bu.” Gadis itu menjawab dan menjelaskan. “Setahu saya, waktu gempa dulu, kedua anak mereka meninggal. Pak Rozak suaminya terluka parah, tetapi sembuh beberapa waktu kemudian. Setelah sembuh, eh malah gila. Padahal istrinya sudah stres duluan.”

“Dua tahun setelah gempa, kami kemari bawa bantuan,” ungkapku. “Rumah ini dulu bersebelahan dengan rumah yang dijadikan dapur umum. Waktu itu Mbak ada di sini, kan?”

“Saya masih sepuluh tahun waktu itu.”

“Oh sama, Mbak,” kataku bernada riang. Aku memang senang, siapa tahu gadis muda ini bisa menunjukkan banyak hal. “Nah, dulu Ibu Onah menempati barak di ujung lapangan itu….”

Lihat selengkapnya