Sekukuh Karang Seluas Samudera

Redy Kuswanto
Chapter #19

Pengakuan

Yogyakarta, 2020

BAIKLAH. Aku akan menurunkan ego yang kuakui belakangan ini agak meninggi. Pagi ini kutemui Atma. Aku bertekad harus meng-clear-kan permasalahan yang tengah kami hadapi. Lelaki itu agak kaget melihat kehadiranku yang barangkali tak disangka-sangka. Dia yang tengah memainkan telepon genggamnya di meja bar, berjingkat dan menyambutku hingga ke ambang pintu.

How are you, Pretty?” Atma urung mengulurkan tangan melihatku membetulkan masker. “Mau makan apa? Biar dibuatin. Sebenarnya siang ini kami berencana mulai tutup, entah sampai kapan. Polsek setempat mulai sweeping bagi yang bandel. Dibuatin special breakfast ya?

Ini salah satu perubahan sikap Atma yang sangat mencolok. Tiba-tiba begitu manis dan amat gentle. Perubahan yang amat kaku dan dibuat-buat tentu saja. Itu bukan dia. Biasanya, dalam situasi normal, lelaki itu selalu bicara to the point dan cenderung keras. Entah sengaja atau memang kurang cermat, bagaimana dia tidak menyadari bahwa aku telah mengetahui permainannya. 

“Mau breakfast apa?” tanyanya sekali lagi.  

Aku menggeleng dan mengambil duduk agak di pojok ruangan. “Aku nggak lama,” ujarku memberi alasan. “Ada hal yang harus dibicarakan dengan pimred sebuah majalah?”

“Masih ada pemotretan?”

“Nggak, justru ini mau ngomongin kerjaan yang sudah terlanjur ditandatangani.”

Atma duduk di depanku, di seberang meja bundar yang tak terlalu besar. Aroma cinnamon menguar dari tubuhnya, membangkitkan imajinasi yang amat romantis. Lelaki di depanku ini, selain gemar menenggak minuman beralkohol kelas atas, ia juga sangat memperhatikan aroma tubuh dan penampilan. Tidak heran jika budget belanja bulanannya melebihi besar gaji seorang PNS golongan IV di Yogyakarta. Belum lagi jika menghitung uang makan dan belanja kebutuhan lainnya. Untuk ukuran seorang manager sebuah café, ini terbilang berlebihan. Terlebih, jika mengkilas balik dari mana berasal, tidak salah jika kukatakan lelaki itu kacang lupa kulitnya.

Tentu saja aku sangat mengenal siapa keluarga besar Atma. Uwa Ratih, ibunya adalah anak pertama dari Emak Turwi. Uwa Ratih mempunyai tiga orang anak yang kesemuanya laki-laki. Atma adalah anak pertama yang masih diharapkan menjadi tulang punggung keluarga. Konon, sejak duduk di bangku sekolah dasar, Atma dan adik-adiknya ditinggalkan sang ayah. 

Emak Turwi tidak lain adalah kakak kandung Emak Sati, tetapi lain ayah. Mereka yang lahir sebelum masa kemerdekaan, menghabiskan masa kecil hingga menikah di Indrajaya. Karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang baik, Emak Sati bersama suami dan kedua anaknya hijrah ke Aceh, meninggalkan anak pertama mereka yang sudah menikah. Emak Turwi sebenarnya juga bukan orang kaya. Hanya saja, dia memiliki warisan dari ayah dan suaminya. Pada sekitar 1990-an Emak Turwi pindah ke kampung suaminya di Bogor. Di sanalah anak-anaknya dibesarkan.

Perkenalanku dengan Atma bisa dibilang kebetulan. Sekitar tujuh tahun lalu, Emak Turwi, Uwa Ratih dan Atma berkunjung ke Indrajaya. Mereka tidak tahu jika selama ini ibu sudah kembali dari Tanah Rencong. Dari pertemuan itulah, Emak Turwi bermaksud mendekatkan lagi ikatan keluarga yang sudah agak renggang. Atas kesepakatan bersama, sekitar tiga tahun kemudian, kami pun serius dijodohkan. Demi menghormati ibu dan Emak Turwi, aku menerima lamaran itu. Terlebih, dari pertemuan beberapa kali, Atma memang telah mampu nenambat hatiku yang kala itu sedang gersang. Barangkali awalnya, dia hanyalah pelampiasan dari kekecewaanku. Namun aku menyadari, ada kuncup-kuncup rasa yang bersemi dan tumbuh. Jika saja lelaki itu tetap menjadi Atma yang dahulu, kuncup-kuncup indah itu semakin berkembang dan mekar.

Kepada dia aku menggantungkan harap sedemikian tinggi. Kepada dia kulaungkan sejumlah luka dan berharap bisa menjadi penawarnya. Namun, ternyata dia serupa yang lain; tak punya pendirian dan jiwanya terlalu rentan hanya karena godaan yang kunilai tak seberapa. 

Lihat selengkapnya