Sekukuh Karang Seluas Samudera

Redy Kuswanto
Chapter #4

Kekhawatiran Ibu

Yogyakarta, 2020

“JADI benar, kamu mengembalikan cincin tunangan?” Ibu bertanya penuh selidik, begitu aku melangkah melewati pintu depan. Tangannya yang dihiasi kulit tua yang keriput, bersedekap di dada. “Kamu sudah memikirkannya masak-masak, bukan?”

Setelah mencuci tangan, melepas high heel dan mengganti masker, aku kembali menghampiri ibu di ruang tamu. Hati-hati, aku duduk di depan perempuan berambut digelung itu. Meskipun rambutnya tidak sebanyak dulu, ibu lebih suka memamerkannya jika di rumah. Ukuran gelungnya pun sangat kecil. Letaknya agak di belakang agak ke bagian atas kepala, mirip gelung milik Cut Nyak Dhien. Biasanya ibu akan menutup kepala dengan ciput dan kerudung jika keluar atau menemui tamu. Dulu ketika aku kecil, suka sekali bermain-main dengan rambutnya yang sepinggang. Menyisirnya berulang-ulang. Mengepangnya atau bahkan membuat ekor kuda. Saat itu aku kerap iri dengan kesuburan rambutnya, meskipun sejak muda sudah agak kelabu.

“Ada apa, malah memandangi Ibu begitu?” Melihatku hanya diam, ibu kembali bertanya, “benar kamu mengembalikan cicin tunangan pada Atma? Kamu baik-baik saja, kan, Tika?”

Dari seberang meja kaca yang tidak lebih dari sedepa orang dewasa, aku merasakan embusan napasnya sedikit kasar. Ini bukan karena hidung dan mulutnya tertutup masker kurasa. Tampaknya, perempuan 78 tahun itu tengah menahan sesuatu. Sorot matanya yang masih lumayan tajam, jatuh di wajahku. Aku memahami sepenuhnya. Wajar jika ibu kesal atau bahkan murka. Aku telah mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya. Tidak salah jika perempuan yang telah menjagaku selama dua puluh empat tahun itu kecewa. Namun begitu, aku masih berharap dia akan memaklumi tindakan nekadku. Barangkali dia bisa paham bagaimana sakitnya mempertahankan hubungan yang tidak sehat, jika ada di posisiku.

“Atma yang cerita,” ujar ibu kemudian, seolah ingin menjelaskan bahwa berita yang dia dengar bukan dari orang lain. “Kamu telah bertindak bodoh hanya lantaran cemburu buta.”

“Ibu percaya?” Kupandangi wajah ibu yang hanya terlihat keningnya. “Ibu percaya perempuan yang dia sembunyikan itu hanya rekan kerja yang ingin belajar fotografi padanya?”

Ibu merapikan letak kaca matanya yang agak terganggu oleh masker. “Kalau ibu percaya, rasanya tidak perlu bertanya, kan? Ibu hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”

Oh, God! Plong rasanya mendengar kata-kata ibu barusan. Aku sudah berpikir terlalu dan berlebihan. Ibu menerima keputusanku yang seolah-olah tanpa perhitungan. Ingin kuraih tangan ibu sebagai ungkapan rasa terima kasih. Namun segera kuurungkan. Kami harus sama-sama harus bisa menahan keinginan mengekspresikan diri seperti hari-hari biasanya. Menyentuh, mencium dan memeluk memang telah menjadi kebiasaan kami sejak lama. Ketiganya bisa mewakili ungkapan rasa; dukungan, perlindungan, rasa senang dan masih banyak lagi. Namun kini, duduk berhadapan saja kami harus mau menutup sebagian wajah. Untuk kebaikan bersama tentunya.

Lihat selengkapnya