Sepanjang perjalan pulang Gendis hanya diam membisu, tatapan matanya penuh kekosongan. Raut wajahnya masihtersimpan rasa ketakutan. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kekiri, menatap barisan toko maupun rumah yang rusak akibattindakan anarkis.
Suara serpihan kaca terdengar di mna-mana. Kebanyakanrumah dan toko berdinding kaca mengalami kerusakan berat. Para pemilik toko membersihkan puing -puing yang rusak,namun ada sebagian ibu-ibu hanya bisa menagis melihat tokomereka yang rusak. Pemandangan tersebut hampir terjadi di jalan poros yang dilalui oleh para pendemo.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dari becak.
“Kring….kring….kring….”
“Bagian mana rumahta Nak ?” tanya Pak becak.
“Masuki di Lorong 1 Daeng.”jawab Gendis. (Daeng dalamnbahasa Makassar adalah sebutan bagi laki-laki)
Pandangan Gendis tiba-tiba tertuju pada sebuah atraksi di sekitar awan. Seperti lukisan gerak yang menunjukankeindahannya. Berpuluh-puluh Capung membentuk koloniberterbangan ke sana kemari seperti sebuah tarian. Sesekaligerakannya naik tiba-tiba turun, dan naik lagi seperti ombakyang bergelombang,sesekali juga berputar ke segala arah.
“Daeng, coba lihat ki itu banyak sekali capung terbang?”tanyaGendis menunjuk ke arah capung.
“Kalau menurut tradisi dan kepercayaan nenek moyangku duluitu tandanya mau turun hujan.” balas Daeng Becak.
“Oh….gitu yah !” seru Gendis memandang capung yang berterbangan.
“ Wah…..sungguh indah sekali pemandangan itu. Ketika kepalamengadah ke atas, tarian dari capung terbingkai dalam sebuahlukisan gerak yang memberikan rasa takjub dan keindahan. Tapi ketika memandang ke bawah ,pecahan kaca dan puing puing bangunan yang rusak terhampar di atas tanah terbingkai dalamlukisan diam yang memberikan rasa kesedihan,ketakutan dan kecemasan.”ucap Gendis dalam hati.
Suara ayunan kaki yang mengayuh becak terdengar jelasbersanding dengan napas Daeng becak yang ngos-ngosan….
“Stop….stop, sampai mi di sini Daeng,” ucap Gendis secaratiba-tiba.
Daeng Becak pun segera menekan rem secara mendadak.Gendis pun turun dari becak dan mengeluarkan tiga lembar uang serratus untuk membayar ongkos becak.
“Ini Daeng uangnya!” ucap Gendis.
“Terimakasih nak.” balas Daeng Becak.
“Iye Daeng sama-sama .” balas Gendis kembali.
Tepat di depan rumahnya, Gendis hanya memandang dan terdiam cukup lama.Sesekali matanya melirik ke arah rumahtetannga, dan surau yang ada di kompleks rumah.