Gendis beserta adik dan ibunya lalu menuju mobil. Meraka mengambil kursi pas di belakang sopir. Perjalanan yang dilalui kali ini akan sangat melelahkan, mengingat jarak yang ditempuh dari kota Kendari sampai di Jawa mamakan waktu sekitar 4 atau 5 hari memakai perjalanan darat dan laut. Perjalan pertama di mulai dari Kendari menuju Kolaka dengan jarak tempuh kurang lebih 178 kilometer memakan waktu sekitar 5 jam menuju dermaga di Kolaka. Sesampai di dermaga,mereka pun memesan tiket untuk melakukan penyeberangan kapal ferry menuju Dermaga Bajoe yang ada di kota Bone. Perjalanan kapal ferry memakan waktu sekitar 6 atau 7 jam.
“Mae, masih lama ya sampai?”tanya Gendis kelelahan.
“Kalau ke Jawanya masih lama, Ndok.Masih ada perjalanan lagi menuju makassar.”balas Ibunya.
“Kenapa gak naik pesawat aja?”tanya Gendis seraya bersandar dipundak ibunya.
“Masalahnya Ndok belum ada pesawat di Kendari, udah tidur aja di paha Ibu, bentar lagi sampai di Dermaga bajoe sekitar 2 jam lagi! ’seru Ibunya.
Perjalanan kedua ini pun tak kalah melelahkan. Sehari semalam mereka lalui dari darat ke laut. Menbuat Gendis mabuk perjalanan. Kapal Ferry pun berlaju dengan cepat, seketika tiupan angin menghantam tubuh, membuat tubuh terasa gemetar kerena kedinginan. Gendis pun terbangun dari tidur dan matanya menatap gelap lautan yang luas. Perlahan-lahan terpancar sinar dari titik mecusuar yuang menandakan kapal sangat dekat dengan dermaga. Makin lama kapal makin dekat, di sekitar pinggiran pantai terlihat jelas lampu-lampu yang memancar, sesekali terlihat lampu kapal nelayan yang melintas.
“Wah…indah banget di lihat pemandangan malam hari. Deretan lampu yang memancar di sekitar dermaga kayak bintang di langit !” seru Gendis kegirangan.
“Gimana suka gak naik kapal laut?”tanya Ibunya Gendis seraya menggendong Rudi.
“Suka Mae, apalagi ini pertama kalinya aku naik kapal laut, dan pertama kalinya juga aku pulang ke Jawa!”seru Gendis tersenyum lebar.
“Kalau naik kapal laut di siang hari juga indah kerena bisa melihat birunya lautan yang luas,juga bisa lihat pulau kalau malam seperti ini pemandangnnya.”balas Ibunya.
“Ternyata begini ya Mae rasanya naik kapal laut di malam hari, serasa ada ribuan bintang!”seru Gendis.
Tak lama berselang tiba-tiba bunyi suara klakson kapal laut yang menandahkan kapal akan berlabuh.Tepat jam 3 dini hari kapal telah bersandar. Para penumpang pun sudah siap untuk segera turun dari kapal. Begitu juga dengan mobil di dek bawah ,para sopir sibuk memanaskan mesin mobil,
Gendis beserta ibu dan adiknya turun paling belakang demi menghindari desak desakan penumpang. Di sekitaran dermaga banyak terdapat anggutan umun yang masuk kota Bone maupun yang keluar kota. Masing-masing mobil punya tujuan. Perjalanan ketiga Gendis dan ibuunya kali ini menuju ke Makkassar.
“Makassar…,Makassar….”terial Si Kernet.
“Makassar…,Bu ma uke makassar?” tanya Si Kernet.
“Iya, jam berapa berangkatnya ?”tanya Ibunya Gendis
“Pagi habis sholat subuh, nanti ke pewakilan dulu sholat baru brangkat.” balas Si Kernet.
“Baik lah kalau gitu masih ada waktu untuk istirahat sejenak.” balas Ibunya Gendis seraya menoleh ke Gendis.
“ Mau 3 kursi, yang satu bisa bayar setengah untu anak-anak?” tanya Si Kernet sambil mengankut barang ke dalam mobil.
“Boleh.” ucap Ibu Gendis berjalan bertiga menuju mobil.
Kali ini perjalanan yang di lalui cukup panjang, jarak tempuh hampir sama denngan perjalanan pertama sekitar 195 kilometer dari Pelabuhan Bajoe menuju Makasar. Setelah istirahat sejenak, Gendis beserta ibu dan adiknya melanjutkan perjalanan sekitar 6 jam. Di pertengahan jalan mereka istirahat sejenak sambil menikmati makanan di warung. Medan yang di lalui saat ini cukup tajam seperti mata pisau. Ngantuk sedikit sopir, bisa jadi nyawa melayang.Jalanan yang penuh kelokan serta tikungan yang kadang menurun dan kadang mendaki seperti obat nyamuk ,melewati gunung dan lembah, terkadang derdampingan, disisi sebelah tebing dan disisi sebelahnya lagi jurang. Bagi yang mabuk darat akan langsung berkeringat dingin.
Setelah 6 jam perjalanan akhirnya tiba juga di kota Makassar. Gendis melihat ke kanan dan ke kiri , seketika matanya tertuju pada beberapa bangunan yang rusak pikirnya dalam hati . “Apakah ini juga dampak dari demo di Makassar”gumannya . Ibunya Gendis pun menuju tempat pembelian tiket.
“Pak, apa ada Kapal Pelni yang menuju Surabaya hari ini ?”tanya Ibunya Gendis.
“Oh, telambat ki Bu, ada tadi pemberangkat jam 8 pagi, tunggu dulu saya cekkan!”seru Penjual tiket.
Ibunya Gendis di penuhi oleh rasa cemas, ia duduk dengan kaki yang bergetar, sedangkan Gendis berdiri menggendong adiknya.
“Untuk hari ini sampai malam gak ada, yang ada besok subuh berangkat jam 3 kapal dagang, Adapun kapal Pelni besok berangkat jam 9 malam pi!” seru Penjual tiket.
“Waduh lama banget, kalau pesawat ada gak yang berangkat ini hari?”tanya Ibunya Gendis.
“ Tunggu ya Bu, saya cek kan. Oh…, ada habis sholat ashar jam 4. Kalau buru-buru mending pesawat aja sekitar sejam uda sampai, kalau kapal menunggu sehari besok ditambah perjalanan kapalnya sehari semalam.” balas Penjual tiket.
“Ya uda pesawat aja, 3 orang jurusan Surabaya, ini KTP saya dan daftar nama anak saya.”seru Ibunya Gendis.
Tak ada 15 menit tiket pun jadi, mereka langsung bergegas ke Bandara Sultan Hasanuddin Makassar untuk menuju ke Surabaya. Perjalanan kali ini sangat singkat hanya sejam setengah telah sampai di Surabaya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju desa.
Akhirnya Gendis beserta ibu dan adiknya telah sampai di desa ibunya. Meraka menuju rumah Pakde Herman. Dibalik jendela mobil, Gendis melihat pakdenya sedang menjemur padi. Ia pun berrgegas lari menuju arah pakdenya.
“ Pakde…,pakde….,aku datang!”seru Gendis berlari memeluk pakdenya.
“Eh….kok uda datang cepet banget!seru Pakdenya menengok ke arah mobil travel.
“Bu…,bu…,ponaan pean datang Cah ayu!”teriak Pakdenya berlari menuju barang bawaan adiknya.
“Loh…..ini to ponaanku(ini kah keponakanku) la da la kok sudah besar gini!” sahut Budenya sambil memeluk dan memandangi Gendis.
“Masuk, uda makan? Bude ke dapur dulu buat kan makanan!” seru Budenya penuh Bahagia pertama kali lihat Gendis.
Gendis pun langsung berbaring dan tertidur lelap di atas dipan bambu di ruang depan.
“Kok cepet dik sampai?”tanya Pakde Herman menuju ruang depan dengan membawa tas .
“Naik pesawat Gus, gak ada kapal!”seru Ibunya Gendis sambil meletakkan Rudi di samping Gendis.
“La da lah cah ayu kok tambah turu, cah bagus juga!”seru Budenya.
“ Pegeren wonge Mbak Har(kecapean orangnya mbak).”ucap Ibunya Gendis.
Pakde Herman dan Ibunya Gendis pun saling ngobrol apa yang terjadi terhadap bapaknya Gendis, sedangkan budenya sibuk masak untuk persiapan makan malam.
Makan malam pun telah siap di meja. Bude segera menbangunkan Gendis dan adiknya Rudi untuk makan malam.Terdengar suara Pakde Herman dari luar pintu di ikuti oleh Ibunya Gendis. Mereka baru selesai sholat isya di surau. Mereka pun makan bersama-sama.
Di ruang depan pakde,bude dan ibunya Gendis saling ngobrol satu sama lainnya. Sedangkan Gendis berlalu keluar menuju teras bersama adiknya. Di teras Gendis bermain dan bersenda gurau. Matanya terkadang teralihkan oleh pandangan orang yang lewat, di lihatnya sekelompok pemuda dan pemudi yang pulang dari arah surau. Baginya malam hari ini yang ia rasakan sangat beda, suasana yang sangat sepi, hanya diterangi oleh lampu teras di depan rumah penduduk. Sesekali terdengar jelas suara jangkrik dan kodok.
Tiba-tiba mata Gendis tertuju pada sekelompok pemuda yang berkumpul di jalan pas depan halaman rumah pakdenya.Ia pun samar-samar mendengar suara di antara pemuda tersebut. Dua diantara pemuda tersebut berjalan menuju rumah pakdenya, dan yang lainnya berjalan menuju rumah masing-masing. Dan sebaliknya dua pemuda itu juga menatap ke arah Gendis dengan wajah terheran-heran.
“Assalamu alaikum.” jawab pemuda yang berumur sekitar 16 tahun dan diikuti pemuda yang berumur 9 tahun.
“Waalaikum salam, sini Le (Tole/le pangilan saying untuk anak cowok), ini Bulekmu yang merantau di Sulawesi? jawab Pakde Herman.
Dua pemuda itu pun langsung memberi salam dan tersenyum kepada buleknya.
“Jadi di depan itu anak Bulek ya..?”tanya pemuda yang besar.