OKTOBER, 2019
Sebuah mobil sedan menepi di pinggir jalan agak menjorok ke tanah trotoar yang membatasi jalan dan kali dengan arus tenang, berair keruh. Kinasih keluar dari mobil itu; melangkah selangkah dan memejamkan matanya sambil menghela nafas dalam, bagaikan menarik masa lalu. Ia serupa memberikan diri seutuhnya pada waktu dan tempat itu. Sesaat. Angin menyapa kulitnya. Suara satu-dua kendaraan yang melaju; suara arus kali di hadapannya dan sesekali, suara burung di seberang kali pun ikut terdengar olehnya. Kinasih membuka mata dan melihat dengan tatapan yang selalu sama. Pemandangan di seberang kali ini belum berubah sebagaimana dulu. Barisan batang singkong, pohon pepaya dan pohon-pohon pisang mengambil alih kehijauan, dengan samar warna genting di kejauhan. Di bawah langit yang sama, di seberang kali ini dan di ujung kebun sana, ada sebuah kampung yang dikenal sebagai kampung Kali Biawak. Sebuah kampung yang selalu disimpan khusus di pelosok hati seorang Kinasih—tanpa sepengetahuan Alif.
...
Alif sudah mengeluarkan tubuhnya dari balik kemudi dan menyusul Kinasih yang sedang khusuk menyimak pemandangan sambil memeluk dirinya sendiri. “Ada apa dengan tempat ini?” tanya Alif setelah mendekat.
Tak berjawab.
Kinasih masih sibuk dengan kepalanya sendiri ketika Alif akhirnya, juga ikut mengedarkan pandangannya. Pandangannya tertarik pada sebuah jembatan yang menghubungkan jalan setapak di seberang kali. Jembatan itu terbuat dari batang pohon kelapa dan kayu balok berukuran sedang, dengan sebatang bambu setinggi pinggang sebagai pegangan orang-orang yang menyeberang. Di ujung jembatan, ada jalan setapak berlantai tanah merah kecokelatan; mirip gang yang diapit pohon-pohon singkong setinggi leher.
Setelah menggosok lubang hidungnya dengan telunjuk, Alif memilih untuk membakar sebatang kretek dan duduk di sebuah bangku panjang yang tak jauh dari mobil. Saat itulah, Kinasih baru kembali dari lamunan dan menyusul Alif yang tampak menunggu sembari mencari sesuatu yang enak dipandang.