Keesokan harinya.
Dari rumah, Kinasih buru-buru mendorong sepedanya; segera menungganginya dan bergegas mengejar laju sepeda Salim. Di kejauhan, sudah terlihat oleh Kinasih punggung Salim yang melaju santai dengan sepeda ontelnya. Demi keamanan, Kinasih menjaga jarak dan melambatkan kayuhan kakinya.
Sepanjang jalanan ke Utara ternyata memang seperti yang dikatakan Bibi Min, sepi dan tak ada rumah selain rumah Kiai Abdul di ujung sana. Dengan teduh pohon bambu di sepanjang sisi kanan jalan dan rawa-rawa di sisi kiri, satu dua petak tertanam umbi-umbian dan singkong dan pisang. Tanahnya menjorok landai ke bawah dan Kali Biawak menjadi batas kampung, lalu jalan raya yang tak begitu besar. Sementara sisi kanan, rumpun-rumpun bambu rimbun tumbuh teratur dan tanah-tanah yang kosong. Tak jauh dari koloni bambu, dibiarkan tumbuh aneka pohon seperti jambu, rambutan dan alang-alang tak bertuan. Rawa kosong tempat belalang, tikus, ular dan biawak mencari makan. Dan tak salah, kalau jalan ini terkenal tempat biawak biasa menyeberang: hilir mudik dari kali ke rawa atau dari rawa ke kali.
Setelah kelokan di depan yang terhalang rumpun pohon bambu, tubuh Salim menghilang dan Kinasih kehilangan jejaknya. Kinasih melengos kiri-kanan bagai itik tertinggal induk. Angin berembus kencang dan gesekan daun bambu menggesek lugut mendesis. Kinasih belum memutuskan akan meneruskan atau kembali. Ia belum tahu sampai mana ujung jalan ini,
“Duh!” keluhnya ketus. Dan tanpa pertimbangan panjang, ia putar setang sepedanya. Ia memilih kembali. Dan persis saat itulah, tubuhnya oleng dan jatuh bersama sepedanya. Sikutnya menancap tanah dan dadanya berdegup kencang. Ia kaget bukan main, ketika seorang pria sudah berdiri tak jauh dari tempatnya jatuh. Sosok yang sebelumnya menghilang tiba-tiba ada di depan mata.
Ya, Salim benar-benar mengagetkan Kinasih. Wajah Kinasih memerah dikalahkan keadaan yang tak terduga.