Aku tak bisa berkata-kata lagi, menahan sesak di hatiku. Selama ini Ezra tau semuanya. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan ajakannya. Kami pun langsung menaiki wahana-wahana di sana. Aku puas berteriak dan menangis, sedangkan Ezra seperti seorang ayah yang sedang menemani anak rewelnya bermain tanpa henti.
"Gimana? udah lega?" tanya Ezra memberikan kacu miliknya karena tissue milikku sudah habis dibasahi air mata.
"Thanks, ya ... aku malu tau!"
"Kenapa?"
"Udah segede ini masih nangis kaya anak kecil. Liat nggak sih tadi orang-orang pada ngeliatin aku."
"Yang penting kan mereka nggak malu-maluin kamu."
"Hm, iya sih."
Lagi-lagi pria satu ini membuatku nyaman. Aku tak tahu apa tujuannya apa sampai ia begitu peduli denganku, tapi untuk sekarang setidaknya aku memiliki bahu untuk bersandar. Seharian ini waktuku habis bersamanya. Menjelang sore, hujan tiba-tiba turun sangat lebat seperti tangisanku yang menderu kencang tiada ampun. Sebagian tubuhku basah, begitupun dengan Ezra. Kami berteduh di sebuah kedai makanan siap saji yang awalnya sepi pembeli menjadi sangat sesak. Aromanya sungguh menggoda dikala hujan lebat seperti ini, ingin rasanya bisa duduk dan menikmati makanan hangat dan secangkir kopi. Namun, semuanya sesak.
"Ezra, jalan aja yuk!"
"Kemana?"
Aku hanya tersenyum dan melangkahkan kaki sejauh lima langkah dari tempatku. Air menghujani tubuhku, aku tak peduli. Siapa yang akan memarahiku sekarang? tidak satupun orang bisa memarahiku. Aku lupa diri atas kedewasaanku, air menenangkanku dari segala hiruk pikuk dunia. Sejenak kulupakan masalah-masalahku. Hingga aku tersentak kaget ketika tubuhku terdorong jatuh ke sisi jalan.
"Khansa, kamu nggak apa-apa?"
"Iya-nggak apa-apa, makasih ya, Zra." Nyawaku nyaris melayang karena kelalaianku sendiri. Sekali lagi Ezra menyelamatkanku. Dengan sigapnya ezra memeriksa keadaanku.