Denting piano melantunkan not ‘Benci untuk Mencinta’ dari Naff masih terdengar di setiap sudut classy Europ La Tour d Ebeya restaurant ekalipun pelanggan berada di private room. Dari balik jendela kaca, lampu berpijar di setiap sudut kota Jakarta menambah kehangatan setiap pengunjung di dalam restoran bergaya Eropa tersebut.
“So, kapan kamu mau ngenalin aku ke keluargamu?” Seorang laki-laki berkemeja linen putih di dalam jas hitamnya bertanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Di hadapannya seorang wanita yang masih berkutat dengan dessert puding strawberry terpaksa mendongak dan membatalkan aktivitasnya untuk sementara. Mata bulat yang dinaungi segaris alis tipis mengerjap berulang kali. Bibir ranumnya membunyikan decakan. Wajah ovalnya berpaling menghindari, sehingga pria di hadapannya dapat melihat tulang hidungnya yang mungil.
“Hm?” Kekasihnya masih menunggu jawaban.
Gadis itu menatapnya lekat. “Fab, please! Aku udah pernah bilang, ‘kan? Nggak semudah itu ngajak kamu ketemu keluargaku. Gimana kalau nanti kamu disuruh langsung nge—”
“Marry me, Sara.”
Bibir Sara yang terbuka langsung terkatup cepat. Tidak jadi menyelesaikan kalimatnya. Waktu pun serasa berhenti.
“Will you?” Si lelaki menaikan kedua alis, menanti jawaban dari gadis yang mematung. kemudian merogoh saku celana dan menampilkan sebuah Paladium berukir emas pada Sara yang tampak semakin takjub melihat cincin dan dirinya secara bergantian. “Ah, mungkin kamu butuh ini.”
Sara menjatuhkan alat makan hingga bunyi berdentang dan refleks menutup mulutnya yang ternganga lebar. Begitu kaget dan rasa tak percaya. Ia dilamar?
“Fave.” Tangan Fab yang menggantung di udara mulai terasa pegal. Sebab gadisnya tak kunjung memberi jawaban. “Mau sampai kapan kagetnya?”
“Fab, are you serious?” Kedua matanya mengerjap.
“Sara, apa cincin ini kurang meyakinkan?” Fab terpaksa harus menjatuhkan siku ke atas meja.
“Hooo, aku tahu. Semua ini memang terkesan sederhana, bahkan sangat-sangat sederhana. Ck! Sejujurnya, aku pengin banget bikin lamaran yang keren sampai kamu terkesan tapi nggak tahu kenapa sampai hari ini aku belum menemukan cara keren itu. Daripada aku nunda-nunda terus, kenapa nggak begini aja?” Fab berkata cepat.
“Oh please Sara, nggak penting bagaimana caraku ngelamar kamu. Karena yang terpenting adalah, aku pengin ngabisin sisa hidupku sama kamu. Cuma sama kamu,” tekannya dengan jelas.
“Hah?” Sara melongo sambil berkedip.
Fab mengambil napas panjang.
“Give me your hand, now!” Parasnya berubah seperti seorang big boss yang sedang menahan amarah.
Sara malah melipat kedua tangan di bawah dada. Matanya berkilat-kilat nakal. “Kapan aku bilang setuju?”
“C’mon Fave, umurku on the way 32, jadi aku nggak tertarik untuk bercanda. Cepat siniin tangan kamu.” Fab malah terdengar mengancam.
Sara membuang wajah, “Huh! Kamu lebih mirip sama tukang palak daripada cowok yang lagi ngelamar.”
Fab menghela napas berat. “Ok. Lupain aja!” Fab memasukkan kembali cincin ke dalam saku celana, lalu bersikap datar.
Sara melotot lebar. “Eh, apa maksudnya lupain?” kemudian menyesal.
Fab tampak bergeming.
“Fab. Fab.” Sara mendadak gugup. Terdengar ketukan-ketukan meja dari jari tangannya.
“Kamu pengin ngomong sesuatu?” Fab bersikap seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia bahkan menyantap hidangannya dengan santai.
“Aku mau lihat cincinnya,” katanya cepat.
Fab berjengit. “Untuk?”
Sara mendadak gengsi. Fab memang keterlaluan. Harusnya Ia tidak mudah menyerah jika Sara bersikap sedikit jual mahal. Sara hanya butuh kalimat penegasan lagi sehingga benar-benar yakin.
“Ya, aku mau lihat aja. Cincinnya pasti mahal, ‘kan?” Ingin sekali Sara membenturkan kepala pada meja sampai kepalanya benjol.
“Nggak juga, sih. Aku cuma beli di pedagang kaki lima pas mau jemput kamu tadi. Wajar sih kalau kamu nggak langsung terkesan dengan mata yang lebar terus bilang ‘ooohh, cincinnya bagus banget’.” Fab bahkan menirukan seruan gadis yang mendapatkan hadiah.
“D-di kaki lima? Nggak mungkin. Aku tadi sempat ngeliat, kok. I-itu bagus banget. Mana mungkin cuma beli di kaki lima. Ma-mana cincinnya?” Sara menengadahkan sebelah tangan. Terdengar agak memaksa. “Ssshhh, Fab! Kenapa kamu bikin aku kesal, sih?”
Sara memaksa, beranjak dari tempat duduk untuk memeriksa kedua saku jas Fab. “Mana cincinnya?”
“Tadi ada di sini.” Fab jadi bingung. Fab kemudian berdiri, tangannya meraba-raba bahkan mengecek isi kantung jasnya. Kemudian menurunkan pandangannya ke kaki. “Apa mungkin terjatuh, ya?”
“Beneran? Kamu yakin?” Mendadak panik menyerangnya. Sara cepat merunduk dan melihat ke kolong meja. Tetapi, ia tak menemukan apapun. “Kok bisa jatuh, sih?”
Bukannya menjawab, Fab malah melebarkan pandangan oleh ulah Sara.
“Fab! Kenapa bisa jatuh?” Sara menjadi sangat kesal. Cepat ia berjongkok, meraba-raba lantai di kolong meja.
“Eh, Fave.” Fab melirik pengunjung lain. Tampak tak begitu memedulikan tetapi tetap membuatnya sedikit khawatir. “Kamu ngapain di bawah?”
“Nyari cincin.” Sara berusaha menaikkan kaki Fab namun gagal. Dengan susah payah ia menaikkan kedua kaki Fab bergantian. “Naikkan kaki kamu, mungkin keinjak.”
Fab mulai tak nyaman. Sara terus mendesaknya untuk menggeser kaki. Fab mencolek bahu Sara agar kekasihnya itu lekas berdiri sebelum mengundang perhatian banyak pengunjung. “Berdiri, Fave.”
“Tunggu sampai aku nemuin cincinnya. Kenapa sampai bisa jatuh, sih? Ceroboh banget kamu ini. Aku bahkan tetap akan nerima kamu meski cincinnya cuma mainan. Aku cuma kaget aja tadi. Bukan berarti aku nolak kamu. Kenapa kamu nggak sabaran banget, sih? Harusnya kamu tunggu sebentar lagi, sampai aku bilang iya. Aku ini perempuan. Kata Mom aku harus jual mahal sedikit. Nggak boleh asal iya.”
Fab merapatkan mulut, berusaha menahan tawa. Kelakuan sekaligus ucapan Sara barusan benar-benar menggelitik hingga ia tidak tahan lagi. Fab pun tertawa. Kemudian ia menghela napas panjang dan ikut merunduk di bawah meja. “Kamu nyari ini?” Sebuah cincin terjepit rapi di antara jarinya. Sebuah cahaya yang entah dari mana asalnya membuat cincin tersebut tampak berkilau.
Sara menoleh dengan tatapan tak percaya. “I-ini? Udah ketemu?”
Fab mengangguk, kemudian memasukkan cincin itu ke jari manis Sara tanpa permisi.