Fab memutar keran yang ujung pipanya dipegang oleh Bian dan langsung mengguyur mobil yang kotor. Sementara Fab mulai menyiramkan air sabun ke beberapa bagian yang telah di siram. Mereka mendadak jadi partner in crime. Mumpung sedang libur, keduanya sepakat untuk mencuci semua mobil di garasi. Setidaknya mencuci mobil adalah olahraga yang paling menguntungkan.
“Lho, Bang Bian sama Bang Fab, kenapa nggak bilang kalau mau nyuci mobil?” Seorang laki-laki seumuran Feba berdiri di depan bagasi.
“Sini Bang, biar aku aja,” katanya sambil berusaha merebut spons dari tangan Fab.
“Jiro, bukannya kamu mau pergi sama Feba? Kamu mau ambil motor, ‘kan? Udah Abang keluarin motornya, tuh.”
Bian hanya melirik sebentar kemudian melanjutkan siramannya pada bagian lain.
Laki-laki muda bernama Jiro itu mengangguk, tetapi salah satu tangannya masih saja ingin mengambil spons yang dipegang Fab. “Feba belum siap. Jadi aku bisa bantu abang dulu.”
Tak lama setelahnya, Feba datang untuk mengajak Jiro. “Ro, yuk! Reva kayaknya udah sampai di kafe.”
“Tuh, Nona Besar udah minta diantar,” celetuk Bian itu langsung disambut perengutan Feba.
“Ta-tapi, Bang. Aku nggak enak kalau Abang yang ngerjain.”
Fab menghela napas berat. Putra dari Mang Herman itu memang bertugas mencuci mobil selain mengawal Feba, tetapi bukan berarti pemilik mobil sendiri tidak boleh mencucinya, ‘kan?
“Memangnya kenapa kalau kita yang ngerjain? Sana. Sana. Have fun, ya,” ujar Fab melanjutkan pekerjaannya.
“Jiro! Ck! Ayo!”
Dengan berat hati Jiro meninggalkan Fab dan Bian yang melakukan tugasnya dan berlalu seusai berpamitan.
“Makin hari mereka makin cocok aja, ya.” Baru selesai bicara Fab sudah merasa bahunya disiram air. Bian menyemprotnya karena terlalu banyak bicara daripada bekerja. “Aish! Lo apa-apaan, sih?”
Alih-alih meminta maaf, Bian malah menyemprot Fab lagi.
“Jangan banyak omong! Masih ada tiga mobil dan satu sepeda lagi,” tegur Bian yang terus mengguyur.
“Bagian belakang kayaknya kotor banget. Sama—” Belum sempat ia selesai berbicara, Fab sudah mengguyurkan air sabun ke atas kepala hingga membuatnya sedikit susah bernapas.
“Rasain tuh!”
Senyum Fab terlihat puas setelah melihat dengan jelas bagaimana tubuh Bian basah kuyup oleh seember air sabun. Bunyi dentuman ember yang ia jatuhkan semakin memperjelas kepuasannya.
“Setengah jam dari sekarang mobil gue belum bersih juga, gue ceburin lo ke kubangan babi,” kelakarnya seraya membalikkan badan.
“Kampret! Enak aja lo ngomong. Rasain nih! Faaabb!” Bian memekik.
Fab menoleh ke belakang dan wajahnya langsung pedih menerima serangan dari Bian. Fab sampai harus melindungi wajahnya dengan kedua tangan.
“Bian. Pedes muka gue. Berhenti nggak?” ancamnya seraya mendekat dan berusaha merebut selang di tangan Bian.