“Nggak. Jangan. Itu nggak cocok. Tule merah terlalu ngejreng. Kesannya jadi rame. Untuk akad nikah yang santai aja warnanya. Mungkin kita bisa ganti dengan warna lain, misal biru muda atau yang lebih peach. Sebentar, aku belum selesai gambar desainnya. Akan kukirimkan setelahnya, ya. Oke. Nanti aku juga akan pengecekan pesanan. Mungkin agak sore.” Sara meletakkan ponsel setelah berdiskusi dengan rekan kerjanya.
Sejak menikah seminggu lalu, Sara lebih senang mengerjakan setiap desain kebaya di rumah. Sesekali pergi ke butik untuk memastikan klien puas dengan rancangannya. Butik yang ia bangun enam bulan lalu memang tidak begitu besar. Hanya sebuah ruko dua lantai dengan beberapa pegawai di dalamnya.
“Sara?” Gyana masuk dengan tiba-tiba. “Kamu punya syal merah? Aku pengin pake sesuatu yang ngejreng hari ini.”
“Ada. Coba kamu cari di lemari. Aku menggantung semua syalku di hanger,” katanya tanpa menoleh sedikit pun dari sketsa.
“Kamu ngapain, Ra?” Alih-alih mencari syal di lemari, Gyana malah mendekati Sara yang masih mencoret-coret pensil di atas block notes-nya.
“Gambar yang bagus. Kebayanya juga cantik. Cool!” komentar Gyana. Kepalanya mengangguk-angguk berulang kali.
“Aku lebih suka kalau kamu ngasih kritik daripada memuji seperti itu, Gy.” Barulah Sara mendongak, melihat ekspresi Gyana yang bingung. “Pujian itu terkadang menyesatkan.”
“Dasar aneh!” Gyana langsung menjauh, membuka lemari Sara untuk menemukan sesuatu yang diinginkannya. “Oh ya, Ra, kalian yakin belum pengin honey moon? Ayolah, ini minggu kedua kalian menikah tapi belum juga punya momen berdua? Ya ampun. Dulu waktu kami menikah, Bian langsung ngajak bulan madu.”
“Setiap hari kami punya momen berdua. Bukannya kamar ini cuma punya kami berdua?”
“Kalau ngeles gitu kamu jadi mirip banget sama Fab.” Gyana mendengus. “Atau kamu mau aku sama Bian ikutan? Bian pasti mau. Begitu aku bilang ini bulan madu kesekian, pasti dia langsung ninggalin semua pekerjaannya.”
Sara berhenti. “Beda banget sama Fab. Ck! Kuharap Fab juga rela ninggalin kerjaannya demi honey moon. Tapi nyatanya dia juga belum punya waktu.”
Gyana mengurai senyum. “Itu berarti kamu harus lebih keras membujuknya. Percaya deh. Meski hampir semua laki-laki adalah perayu, mereka juga nggak akan tahan kalau dirayu balik. Apalagi kalau pake acara semi naked. Aku bisa ngajarin kamu, kok.”
Sara terhenti. Lalu bayangan malam pertama yang memalukan terngiang jelas di kepala Sara. Semua itu saran Gyana. Bahkan ia masih merasa sangat malu sampai sekarang. “Nggak lagi.”
“Kenapa?” Gyana siap menutup pintu lemari, tetapi benda di antara tumpukan pakaian mengganggunya. Gyana sedikit kaget ketika berhasil mengenali benda tersebut sebagai test pack. Gyana melihat ke Sara sebentar, lalu mengambil benda itu. “Apa kamu lupa kalau aku lebih dulu menikah? Aku ini seniormu. Trust me!”
“Nggak. Aku nggak mau ngelakuin saran kamu lagi. Memalukan. Aku masih mual kalau ingat yang kemarin.” Sara menggeleng berulang kali.
Gyana tertawa.
“Ya sudah. Awas ya kalau nanti ngerengek minta jurus sama aku,” ujarnya sambil berjalan ke toilet. Membiarkan Sara kembali berkutat pada gambar-gambarnya. Sementara dirinya mencoba benda yang diambilnya secara diam-diam.
***
“Sekali lagi terima kasih, Manajer Bian. Saya sangat terkesan dengan pelayanan hotel Runaka ini.”
Gyana menghentikan langkah begitu melihat seorang pria paruh baya berbicara dengan formal kepada Bian. Sepertinya pria itu adalah tamu yang baru saja check out. Setelan jas yang dikenakan mengatakan bahwa tamu tersebut orang penting.
“All the best, Pak,” Bian mengakhiri basa-basi dengan menjabat tangan pria itu sebelum membiarkannya keluar dari lobi.
“Eh, Gyana? Sejak kapan kamu di situ?” Bian menghampiri istrinya dengan senyum lebar.
Gyana mengurai senyum terbaik seraya memeluk suaminya. “Baru aja. Kamu masih sibuk?”
Bian berpikir sebentar lalu melihat pada jam tangannya. “Iya. Kita nggak bisa makan siang bareng hari ini.”
“Tapi—”
Gyana menghela napas berat. Untuk pertama kalinya Bian menolak permintaan makan siang bersama hanya karena sibuk dan Gyana tidak punya tenaga untuk memaksa. Gyana melirik Bian dalam diam. Menelesik detail wajahnya dengan teliti. Apakah Bian sudah berubah? Apa penyebabnya? Gyana mencurigai perubahan mencolok ini.
“Gyana? Kamu kenapa?” Bian mengguncang bahu Gyana. Istrinya itu terkesiap untuk sekejap. Tetapi tak lantas mengatakan sesuatu.
“Ya udah kalau gitu. Aku pulang aja.” Gyana menarik ujung bibir ragu-ragu. Berat hati meyakini bahwa Bian mengecewakan kedatangannya. Jika memang sibuk mengapa tidak telepon sehingga ia tidak perlu datang ke hotel segala?
“Atau kamu mau ke restoran aja? Biar aku telepon Fab buat nemenin kamu. Aku yakin—”
Gyana hanya menggeleng. Tidak seperti biasa yang langsung protes dan terus merayu. Langkahnya berbalik, berjalan lamban dengan kepala menunduk. Hari ini ia kecewa namun dapat menerima alasan Bian. Tetapi entah mengapa hatinya belum bisa mengerti dengan kegelisahan yang tiba-tiba menyelusup.
“Gyana!”
Gyana berhenti dan menoleh. “Hah?”
“Kamu mau ke mana?” Bian berjalan mendekat. Senyumnya yang miring jelas tidak bisa dimengerti oleh Gyana yang terlanjur kalut.
“Aku cuma bercanda. Kenapa langsung pulang? Ya ampun. Kamu nggak asik banget. Come here!” Bian tertawa lebar dan melingkarkan sebelah tangan ke bahu Gyana lalu membawanya ke restoran, tempat mereka akan makan siang bersama.
Sesampainya di restoran, mood Gyana berangsur-angsur membaik. Terlebih Bian mulai berbicara layaknya beo. Menceritakan kegiatannya di hotel yang selalu begitu-begitu saja, namun tetap menarik bagi Gyana.
“Kamu tahu bapak yang tadi? Dia pemilik perusahaan iklan yang baru aja meeting dengan klien. Katanya beliau puas dengan pelayanan hotel,” ujarnya sembari mengambil buku menu dari pelayan. “Kamu tahu? Bapak tadi sempat curhat kalo istrinya tiga. Buset! Sempat-sempatnya ya dia punya istri segitu banyak, aku aja satu nggak abis-abis.”
Wajah Gyana kontan berubah. Ia tidak senang dengan ucapan Bian barusan. Seolah memberi sinyal minta izin nikah lagi. Belum lagi seringaian Bian yang seakan membenarkan dugaannya barusan.
“Jadi kamu mau nikah lagi?” Gyana meletakkan buku menu.
Bian mendongak. Ada banyak kerutan di dahinya. “Emangnya boleh?”
Gyana tambah kesal. Tatapan matanya tampak nyalang. “Kalau boleh, kamu mau?”
Bian mengerucutkan bibir, melirik ke sekeliling, dan mulai berpikir.