Selamanya, Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #7

Hilang

Bian bolak-balik melihat pada jam tangan. Sudah sejam lebih ia menunggu istrinya dandan, namun Gyana belum juga keluar dan turun. Bian mulai gelisah, tidak ingin kesorean sebab akan bertemu jalanan yang macet. Bian sampai bangkit dari ruang TV untuk mengecek istrinya.

Begitu ia sampai di kamar, istrinya masih sibuk memilih baju, sementara tubuhnya masih terbalut handuk kimono. Bian menghela napas berat. Rupanya Gyana belum juga berpakaian, apalagi dandan. Sepertinya sejam tidak cukup untuk melakukan dua hal itu. Bian merebahkan tubuhnya di samping tumpukan baju yang diletakkan sembarangan di atas kasur.

Sweetu, lama banget, sih. Aku sampe ngantuk nunggu di luar. Kalau kesorean bentrok sama jam pulang kantor,” ujarnya mengingatkan.

Awalnya keduanya berencana berbelanja perlengkapan bayi dan acara tujuh bulanan yang akan dilaksanakan dua minggu kemudian sehabis zuhur. Namun, hingga menjelang asar Gyana belum juga beres.

“Duh, aku lagi bingung, nih. Baju aku udah pada nggak muat semua,” gerutunya seraya mengeluarkan isi lemari pakaian.

Bian melirik istrinya geli. “Iyalah. Perut kamu aja udah gede gitu.”

Gyana kontan berkacak pinggang. Matanya membola saat melihat Bian menertawakan bentuk tubuhnya yang sedang hamil enam bulan dua minggu. “Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu nggak ngehamilin aku, perutku nggak mungkin gendut gini. Semua baju aku pasti masih muat.”

Alih-alih terdiam dan merasa bersalah, Bian semakin tertawa lebar.

“Bian!” bentak Gyana disertai tatapan sinis. Sejak hamil ia memang lebih mudah tersinggung terutama jika dibilang gendut.

Bian terdiam. Ditatapnya Gyana dengan tatapan penuh permohonan maaf. Gyana memberengut bibir kemudian melanjutkan mencari baju yang cocok. Bian pelan-pelan bangkit dari tempatnya untuk menghampiri istrinya yang masih terlihat merajuk.

Sweetu.” Bian memeluk Gyana dari belakang dan membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kemudian, ia menyeringai jahil. “Apa kamu nggak inget? Kita bikinnya sama-sama. Masa cuma aku sih yang disalahin?”

Gyana tidak merespons. Terdiam seribu bahasa.

“Lagian kalau kamu gendut karena hamil malah tambah seksi, kok,” pujinya demi mengembalikan mood istrinya.

Kedua mata Gyana membola. “Jadi selama ini aku nggak seksi gitu?”

“Yah. Salah ngomong deh.” Bian menepuk kening dan mencebik. Dilepaskan pelukannya lalu memutar tubuh istrinya agar bisa ia tatap dengan lekat. 

“Bukan itu maksudku. Kamu itu, mau hamil, mau enggak hamil, tetep aja seksi di mata aku. Jangan ngambek gitu dong. Kamu kalau ngambek cantiknya nggak ketulungan, aku takut makin cinta sama kamu,” godanya Bian sampai harus mengedipkan sebelah mata.

“Gombal kamu udah nggak mempan sama aku.” Gyana mencubit pinggang suaminya lantas mendorongnya pelan. Ia hanya bisa menghela napas berat. “Nunggu di luar aja. Setengah jam lagi aku turun.”

“Bener, ya, setengah jam lagi. Awas kalau ngaret lagi,” ucap Bian lantas mencuri ciuman di pipi Gyana.

Gyana hanya mengangguk kemudian membiarkan suaminya keluar kamar sementara ia melanjutkan aktivitas yang tertunda. Memilih pakaian yang membuatnya nyaman di tengah kehamilan yang hampir menginjak usia tujuh bulan. Setelah menemukan pakaian yang pas berupa blus biru muda, Gyana segera merias wajah dengan riasan tipis. Semenjak hamil, ia sedikit malas merias diri. Kata orang kemalasannya ada pengaruhnya dengan jenis kelamin bayi.

“Biasanya kalau ibu jadi males dandan, pasti bayinya cowok. Kalau bayi cewek pasti rajin dan makin cantik.”

Gyana hanya mengaminkan saja spekulasi tersebut, karena pada dasarnya ia menginginkan anak pertamanya kelak berjenis kelamin laki-laki. Gyana ingin putra pertamanya nanti menjadi laki-laki yang siap mengayomi dan melindungi adik-adiknya kelak.

Sweetu, aku udah siap. Nggak sampai ngaret, ‘kan?” Gyana tersenyum jahil pada suaminya di ruang tamu.

Bian tersenyum sekilas, lalu berdiri dari sofa, berniat menyiapkan mobil agar ketika Gyana benar-benar turun mereka bisa langsung berangkat.

“Bian, tungguin kenapa, sih?” rengek Gyana yang sudah menuruni beberapa anak tangga.

Bian seolah tidak mendengar lantas melanjutkan langkah hingga tiba di kaki tangga. Gyana, yang merasa telah ketinggalan jauh, mempercepat langkah. Ia tidak memerhatikan langkahnya sementara matanya terus tertuju pada Bian yang terus berjalan meninggalkannya.

“Bi—” 

Seperti ada kekuatan besar yang mendorong sehingga Gyana kehilangan keseimbangan, Napasnya seperti tercabut. Gyana menjerit, tetapi tidak bisa mengubah apapun. Gyana terjungkal saat ia masih berada di pertengahan tangga. Gyana begitu kesakitan, seperti ada tangan besar yang meremas perut.

Bian menoleh saat Gyana menjerit histeris. Wajahnya langsung pucat begitu melihat Gyana berguling dengan cepat dan berhenti di kaki tangga. 

“Gyana!” 

Gyana kesulitan bernapas saat Bian menjangkaunya. Sekujur tubuhnya seperti ditindas buldoser. 

“Gyana! Gyana! Gyana!” Bian memukul-mukul pelan pipi Gyana agar tetap sadar. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Gyana kehilangan kesadaran.

“Gyana!” Bian mendadak panik. Bingung. Sekujur tubuh Bian bergetar hebat. Gemetaran menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah mengalir dari selangkangan.

**

 

Entakan langkah yang tergesa-gesa menyesaki lorong rumah sakit di mana Gyana dilarikan. Bian yang tadinya berdiri menyandar seraya memijat pelipis pelan pun mendongak begitu mendengar namanya dipanggil terus menerus. Bian mengubah posisi, menghadap keluarganya yang tampak sangat cemas.

“Bian!”

“Bian, gimana Gyana?”

Lihat selengkapnya