Selamanya, Rumah Kita

Vivie Hardika
Chapter #8

Kosong

Gyana mengedipkan kedua mata yang tak fokus menatap langit-langit ruang inap. Sebelum mengerling, sebelah tangannya yang dihias selang infus bergerak-gerak pelan. Tangan yang lainnya memegang kepalanya yang dibebat perban. Meski tidak sesakit sewaktu pertama kali Gyana membuka mata, tetapi luka itu masih terasa nyeri. Yang ia ingat, kepalanya sempat terbentur benda keras sebelum berakhir di ruangan ini. Tidak hanya itu, ada bagian lain di tubuhnya yang masih belum pulih.

Gyana menempelkan telapak tangan di atas perut, memastikan apakah masih ada kehidupan di dalamnya. Sejak pertama kali ia menyadari perutnya tidak lagi membuncit, Gyana tahu bayinya sudah dipisahkan dari tubuh. Namun, tak seorangpun yang mengatakan sesuatu tentang buah hatinya itu sampai hari ketiga ia dirawat. Semua orang tidak mengizinkannya berbicara, malah menyuruhnya untuk tidur, tidur, dan tidur.

Gyana merasa kepalanya diusap seseorang dengan lembut. Sebuah kecupan hangat menyapa keningnya.

Morning, Sweetu. Apa mimpimu indah?” Bian duduk di tepi ranjang Gyana, memerhatikan wajah pucatnya lekat-lekat.

“Anak kita apa, Bi? Laki-laki?”

Bian tidak langsung menjawab. Malah beranjak untuk menuang segelas air putih. Bian juga belum mengatakan apa-apa saat tangannya mengangkat kepala Gyana untuk membantunya minum.

“Atau perempuan?”

“Laki-laki,” katanya sambil mengusap bekas basah di sekitar mulut Gyana dengan pergelangan tangan.

Gyana tampak bahagia. Bian dapat melihat itu dari kedua mata Gyana yang semakin berbinar dan senyumnya yang mengembang sempurna. Bian merasa tercabik melihatnya.

“Apa aku boleh menggendongnya? Oh, nama apa yang kamu kasih?” Gyana terlihat penuh harapan.

“Raja. Sesuai dengan keinginan kamu.”

Gyana belum juga kehilangan antusiasme. “Really? Di mana dia sekarang? Aku sudah boleh ngasih ASI ke anak kita? Ya ampun, dia lahir prematur, ya? Pasti masih di inkubator lebih lama. Bi, aku mau lihat anak kita. Bawa aku ke sana sekarang.”

Bian mengusap pipi Gyana pelan, “Nggak bisa, Gy. Kita nggak bisa ketemu sama dia.”

Ekspresi bahagia Gyana berubah seketika. Sebenarnya, Bian tidak ingin menjawab pertanyaan serupa dari Gyana sejak kemarin. Akan tetapi hatinya semakin berat jika terus menyembunyikan yang lambat laun akan diketahui Gyana sendiri.

“Kita nggak bisa ketemu anak kita.” Bian menarik napas berat sebelum akhirnya mengatakan. “Hari ini ataupun nanti karena ada yang lebih sayang padanya.”

“Si-siapa?”

“Tuhan.” Bian menarik kedua ujung bibir.

Gyana lebih terkejut lagi. Kedua matanya yang berbinar tidak ada lagi. Berganti dengan sepasang bola mata yang sendu.

“Gyana.” Bian menggeleng berulang kali, melarang Gyana untuk menangis. “Kita harus mengikhlaskannya. Cuma itu yang bisa kita lakukan, supaya rasa sakitnya sedikit berkurang.”

“Maafin aku, Bi.” Gyana merapatkan kedua mata sampai sesuatu yang bening menggaris lurus di pipi. “Kalau aku lebih hati-hati pasti kita nggak akan kehilangan anak kita. Maafin aku—”

“Jangan, Gy. Jangan nangis. Jangan minta maaf.” Ada sesuatu yang juga menyesaki pelupuk mata Bian, tetapi ia lebih memilih menghapus air mata Gyana daripada menahan air matanya sendiri.

“Maafin aku.” Gyana menutup mata lagi. Ia tidak berani melihat kesedihan di wajah Bian.

Yang Gyana tidak tahu, Bian menjadi sangat sedih saat menyadari ada satu rahasia lagi yang harus diungkapkan padanya.

***

Ada yang mencelus dari dalam dada Sara saat melihat sepasang sepatu di genggaman. Sepatu biru dongker yang begitu mungil itu hadiah yang dipersiapkan untuk bayi pertama Gyana yang akan lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Gyana tidak pernah mengatakan jenis kelamin anaknya, Sara justru menanyakan rahasia itu langsung dari dokter kandungan Gyana. Sejak saat itu, setiap kali melihat sepatu bayi laki-laki yang lucu Sara tidak ragu untuk membelinya.

“Entah siapa yang akan memakai sepatu lucu ini nanti.” Mata Sara memanas. Diletakkan kembali sepatu itu bersama dengan beberapa pasang lainnya di dalam lemari.

“Ra, kamu mau ikut ke rumah sakit? Mami tunggu di bawah, ya.” Tiba-tiba suara Mami membuyarkan lamunan Sara.

Sara mengusap kelopak mata beberapa kali sebelum akhirnya menyusul Mami. Sebenarnya langkahnya agak berat, terlebih saat Mami memberi infomasi kalau Bian sudah memberitahukan Gyana perihal bayi mereka. Sara tidak tega melihat wajah sedih Gyana nanti.

Lihat selengkapnya