Feba memelankan langkah kaki begitu mendengar suara Mami lebih tinggi dari biasanya. Keningnya lantas berkerut melihat situasi yang terjadi. Mami tidak biasanya melontarkan argumen ketika berbelanja di tukang sayur keliling seperti sore ini. Feba mendekati, mencuri dengar.
“Coba kalian bayangin, seandainya Gyana itu anak perempuan kalian?”
Hening seketika.
“Apa kalian masih bisa ngomong kayak begini?” Kedua mata Mami tampak berapi-api. Mami berdecak lidah berulang kali. “Menantu saya udah nggak bisa kasih keturunan buat anak saya, saya mau jodohin dia sama anak tetangga sebelah, ah! Masih bisa kalian ngomong seperti itu?”
Yang mengejutkan, Mami pun sempat bertepuk tangan. Emosinya kentara sekali.
“Hebat!”
“Jeng, kami nggak maksud—”
“Nggak maksud?” Mami tertawa kecil. “Jeng Dewi, saya juga punya satu anak perempuan. Ibu-ibu sekalian, saya juga punya anak perempuan di rumah. Itu dia anak perempuan saya! Kalian udah tahu, ‘kan? Kalau yang terjadi pada menantu saya terjadi padanya, amit-amit ya, Bu, saya nggak yakin masih bisa berdiri tegak seperti sekarang.”
Semua orang tampak menundukkan kepala perlahan-lahan dan saling curi pandang satu sama lain. Yang terdengar hanyalah samar-samar deru kendaraan dan suara plastik oleh Mang Yadi, tukang sayur.
“Sejak Gyana resmi menjadi istri Bian, saya menganggapnya sebagai anak sendiri. Dan ibu mana yang nggak ikut hancur melihat kondisi anak perempuannya seperti itu? Ibu-ibu, saya bahkan lebih hancur!”
Feba bisa melihat kedua mata Mami berkaca-kaca, yang kemudian tanpa aba-aba meluruhkan emosi lewat bulir-bulir kristal yang melesat cepat di kedua pipi.
“Gimana bisa kalian dengan gampangnya bilang, Bian harus menikah lagi supaya punya keturunan?"
“Mi ....”
“Feba, tolong bawa masuk belanjaan Mami!”
Lantas Mami berjalan dengan langkah yang lebar-lebar.
***
Gyana menggerak-gerakkan telunjuk dengan lembut, bahkan sangat hati-hati mengusap-usap pipi dari tubuh mungil nan rentan tersebut. Perasaannya begitu menenangkan saat menunggu wajah berparas meneduhkan tersebut. Sambil bertopang dagu, Gyana tidak pernah bosan dan selalu senang melihat wajah pulas bayi berusia dua bulan itu. Saat melihatnya Gyana seolah mampu melupakan segala kesedihannya dalam sekejap. Gyana seperti dapat melenyapkan penderitaan yang selama ini membebaninya.
Setelah kembali dari rumah sakit dua minggu lalu, Gyana menjadi sosok yang sangat berbeda. Senyum tak selalu menghiasi wajahnya dengan mudah. Tawa dan candaan di sekitarnya terabaikan begitu saja. Gyana tidak punya kedamaian lagi di dalam rumah keluarga Runaka. Ada yang selalu mengganggunya. Menyakiti dirinya sedikit demi sedikit hingga membuatnya sulit sekali mendapatkan udara segar.
Rumah Pelangi, sebuah panti asuhan yang tak sengaja ditemukannya ketika berjalan-jalan mengusir penat. Seperti namanya, banyak warna yang bisa dilihat Gyana di dalamnya. Warna yang ditorehkan anak-anak yang tidak beruntung. Meski begitu mereka tetap tertawa tanpa berpikir ataupun bertanya mengapa takdir begitu kejam untuk mereka yang masih begitu muda. Melihat semua itu Gyana menjadi ingat pada kalimat Bian.
“Ada banyak anak-anak di luar sana yang tidak beruntung memiliki orang-tua, mengapa bukan kita saja?”
Kata-kata itulah yang membawanya datang ke Rumah Pelangi untuk beberapa kali. Hanya untuk melihat bayi mungil yang diberi nama Hana oleh pemilik panti. Ketika ditemukan di depan pintu Rumah Pelangi, Hana masih berusia sekitar 40 hari. Gyana muram setiap kali mengingat cerita itu. Miris sekali mendengarnya. Di saat ia telah kehilangan kesempatan untuk mengandung, mengapa ada orang yang tega menyia-nyiakan apa yang telah diberikan padanya?
Gyana gamang. Keinginannya begitu besar untuk mengadopsi Hana, namun banyak hal yang menjadi pertimbangannya. Ia bahkan tidak pernah membicarakan kunjungan ke Rumah Pelangi pada Bian. Bagaimana ia bisa mengadopsi Hana?
“Nak Gyana.”
Gyana tersentak dari lamunan.
Ia menoleh ke belakang dan mendapati pemilik Rumah Pelangi tersenyum ramah padanya.
“Sepertinya kamu lupa bahwa hari sudah gelap,” kata Ibu Kasih mengingatkan.
Gyana hanya mengumbar senyum sebelum akhirnya menggeleng dan memberi alasan kenapa ia masih betah berada di Rumah Pelangi meski hari mulai gelap.
“Aku masih pengin di sini, Bu. Boleh?” katanya kalem dengan sorot mata merengek.
Ibu Kasih tertawa kecil. “Sepertinya kamu sudah terlanjur jatuh hati padanya, ya?”
Gyana mendecak lidah seraya tersenyum ringan. “Ya begitulah, Bu. Di antara malaikat-malaikat kecil di sini, memang cuma Hana yang membuatku selalu ingin ke sini.”
Bu Kasih tampak mengerti dengan anggukan beberapa kali. “Aku tidak tahu pasti siapa yang meninggalkannya di sini. Apakah itu ibu kandungnya atau bukan? Tetapi tetap saja aku merasa kesal pada pelakunya.”
Gyana tersenyum tipis. “Bu, boleh aku menginap malam ini?”
***
Fab melirik satu per satu hidangan malam ini dengan sebelah bibir terangkat. Setiap orang sudah menduduki kursi masing-masing, hanya Fab yang tampak tak berminat duduk. Sebelah tangannya mengelus perut yang kosong tapi tak sedikit pun berselera dengan makanan di atas meja.
“Kayaknya aku nggak lapar.” Meski begitu Fab tetap duduk di sebelah Bian dan menemukan ada yang hilang di sekitarnya. “Bi, Gyana kemana?”
Kursi yang biasa diduduki Gyana masih kosong padahal makan malam sudah berlangsung.
“Itulah yang mau gue tanya sama lu. Lu liat? Gue nggak bisa menghubunginya. Gyana nggak bawa ponsel.”
“Gyana tadi pamitan pengin ke rumah temennya, Bi. Mungkin sebentar lagi pulang.” Info Mami tanpa berpaling dari santapannya.
Untuk beberapa saat Bian merasa lebih baik dan melupakan kecemasannya. Untuk itulah ia mengambil alat makan dan mulai mengunyah. Berbeda dengan Fab yang masih menimbang-nimbang, apa yang akan ia makan. Semuanya tidak membuatnya berselera, sama sekali.
“Fab? Lu nggak makan?” Ia kemudian menoleh ke arah Sara yang tak jadi menyantap nasi di sendoknya. “Ra, nih anak minta diambilin kali.”