Sepanjang perjalanan menuju Rumah Pelangi, Bian hanya melihat senyum menghiasi wajah Gyana. Setelah kemarin membuatnya sangat cemas karena tidak pulang, pagi ini Gyana mengembalikan senyum yang selama ini hilang. Bian merasa lega.
Tidak mudah untuk membuat Gyana mengatakan sesuatu yang sangat diinginkannya sejak peristiwa kelam itu terjadi di keluarga kecil mereka. Gyana seolah menjadi pribadi berbeda seratus delapan puluh derajat. Bian menyadari akhir-akhir ini Gyana lebih banyak menutup diri. Ternyata strategi yang semalaman suntuk ia pikirkan telah membuahkan hasil. Bian sangat senang saat Gyana sudah bisa memercayainya lagi. Adopsi anak dari Rumah Pelangi yang langsung disetujuinya adalah salah satu cara agar Gyana percaya bahwa ia akan melakukan apa saja untuk membuatnya kembali seperti Gyana yang dulu.
“Aku senang melihat senyummu kembali lagi.” Bian melirik Gyana yang kedua matanya masih berbinar. Tak lama setelah kalimatnya meluncur, ada secercah rona di kedua pipinya.
“Thanks, Bian.”
Bian menarik tangan Gyana dan menggenggamnya. Ia mengecup punggung tangan Gyana lama dan meletakkannya di dada. “Nggak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban, Sweetu. Apapun bisa aku lakukan untuk kamu. Asal kamu percaya kalau aku akan selalu berada di sisimu bagaimanapun keadaan kamu sekarang dan nanti.”
Gyana tidak tahu harus menjawab perkataan Bian dengan kalimat yang bagaimana. Kedua mata yang mulai memanas hanya bisa menatap kefokusan Bian pada jalanan yang sempat melamban dengan ribuan ucapan terima kasih dalam hati yang tak kunjung berhenti.
“Berapa usia bayi itu?”
Gyana terkesiap mendengarnya. Buru-buru ditariknya tangan yang berada dalam genggaman Bian untuk menghapus matanya yang mulai basah.
“Dua bulan,” jawabnya. “Waktu ditinggalkan di depan panti, Hana masih sangat rentan. Entah siapa yang meninggalkannya. Tega sekali.”
“Dua bulan, ya?” Bian tampak berpikir. “Nanti kamu pasti repot banget. Kamu siap? Jam tidur kamu pasti berkurang?”
Gyana mengangguk tanpa ragu.
“Kenapa nggak pilih yang udah bisa lari aja?” saran Bian yang berpikir kalau bayi berumur dua bulan pasti akan sangat merepotkan Gyana. Sedangkan, yang sudah bisa berlari akan membuat Gyana melupakan kesedihan sesegera mungkin dengan bermain lari-larian dengannya nanti.
Gyana menggeleng kali ini. Dari ekspresi yang terbaca oleh Bian, Gyana seperti ingin mendebatnya.
“Bayi itu seperti selembar kain, Bian. Aku nggak pengin langsung menjahitnya. Aku mau menggambar pola terlebih dulu di sana.”
Bian terdiam sesaat. Mencoba memaknai kalimat Gyana barusan.
“Aku akan sangat berhati-hati menggambar polanya agar setelah dijahit hasilnya lebih baik lagi.” Gyana mengulum senyum. “Dan lagi, aku nggak pengin dia ingat kalau aku bukan ibu yang melahirkannya.”
Bian tersenyum puas. “Baiklah, Sweetu. Terserah kamu saja. Yang penting bagiku, kamu bisa bahagia. Itu aja cukup.”
Gyana sudah merancang banyak hal untuk putri adopsinya selama di perjalanan. Ia akan membuat identitas baru untuk bayi malang itu. Ia juga sudah memperhitungkan berapa biaya untuk membeli semua keperluan Hana ketika sudah resmi menjadi putrinya nanti. Gyana tidak sabar menunggu tangisan Hana menyesaki kamar rancangan Fab dan Sara dan membuat seluruh anggota menjadi sangat sibuk.
Tetapi, lagi-lagi nasib baik tak berpihak padanya. Semua angan dan cita-citanya untuk Hana musnah sudah.
“Tadi pagi, seseorang yang mengaku ibunya telah membawa Hana,” kata Ibu Kasih memberitahu.
Gyana benar-benar kaget mendengarnya.
“Bagaimana mungkin ibu memberikan Hana padanya? Apa perempuan itu benar-benar ibunya? Bagaimana kalau perempuan itu hanya berpura-pura sebagai ibunya? Siapa yang tahu kalau ternyata perempuan itu hanya seorang penipu yang akan menyulitkan hidup Hana nantinya? Kenapa Ibu begitu percaya padanya?” Gyana menangis, harapannya sirna sudah.
“Perempuan itu juga telah membawa sejumlah bukti yang cukup meyakinkan. Sebenarnya ia hanya menitipkan bayi itu untuk sementara. Menghindari suaminya yang ingin menjual Hana demi sejumlah uang. Ia tidak bermaksud membuang bayinya. Ia hanya ingin menyelamatkan bayinya.”
Gyana merintih dalam diam.
“Ibu, saya ingin mengadopsi Hana hari ini. Tapi kenapa Ibu memberikannya pada ....” Gyana membuang pandangan sekilas. “Saya ingin bayi itu, Bu.”
“Maafkan saya, Gyana. Tapi saya pikir, Hana lebih butuh ibunya. Itulah sebabnya saya mengembalikan Hana padanya. Saya nggak berhak memisahkan seorang ibu dengan putrinya.”
Bian, yang ikut lemas mendengar kabar tersebut, hanya bisa mengusap punggung Gyana tanpa memberi kalimat penenang apapun. Ia juga sempat merasa kecewa, bayi yang diinginkan Gyana tidak bisa dimilikinya. Di sisi lain ia juga senang karena bayi malang itu mendapatkan kembali haknya.
“Bian, aku mau bayi itu. Aku sangat ingin mangadopsinya.” Gyana mengadu pada Bian. Seakan setelah memohon dengan berurai air mata pada Bian, ia bisa mendapatkan bayi tersebut.
Bian menarik kepala Gyana ke dalam pelukan dan mengusap salah satu lengannya agar Gyana merasa tenang untuk beberapa saat. Tetapi yang terjadi, Gyana semakin tenggelam dalam kesedihan. Dan Bian tidak punya cara selain mengecup kening Gyana penuh kesungguhan. Mungkin hal itu berpotensi mempermudah Gyana untuk tetap tenang dalam emosi yang sedang dirasakannya.
***
Fab menggeleng dengan rengutan bibir begitu Sara mengangsurkan sesendok bubur ke wajahnya. Bukan hanya tidak berselera, Fab juga merasa tersinggung oleh makanan itu.
“Aku masih punya gigi, Fave. Aku masih bisa mengunyah batu sekalipun. Kenapa kamu kasih aku bubur?”
Dengan kerutan di dahi, Sara merasa seseorang menggelitikinya. “Ya ampun, Fave. Kamu ini gimana, sih? Sebelum ini aku kasih kamu nasi dan sup, tapi kamu nolak. Terus aku harus kasih kamu makan apa coba?”
“Ini enak, kok. Mami yang bikin.” Sara memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya sendiri saking gemasnya pada Fab. Ekspresinya bahkan dibuat-buat demi menarik perhatian Fab.
“Ck!” Fab tetap tidak tertarik dengan makanan apapun. “Aku mau yang seger-seger. Buah.”
“Tapi kamu udah makan buah tadi.” kata Sara mengingatkan. “Jangan buah terus dong, Fave. Kamu juga harus masukin nasi ke dalam perut kamu.”