Pemakaman baru saja selesai tetapi kesedihan di rumah Runaka masih betah bersarang. Apa yang terjadi di rumah itu tak ubahnya hari yang cerah tiba-tiba berpetir. Tidak ada angin badai, apalagi gerimis, semuanya terjadi begitu saja tanpa seorang pun yang mengharapkannya. Takdir sedang menguji keluarga besar itu tanpa henti. Seolah kebahagiaan adalah hal yang harus dibayar mahal dan kesengsaraan selalu datang tanpa dibayar sepeser pun.
Dia telah pergi untuk selamanya.
Di dalam kamar, Sara menatap kosong pada seisi ruangan. Air matanya sudah kering menangisi kepergian kekasih tersayang. Separuh jiwanya menjadi mati dan separuhnya lagi menjadi hampa. Bahkan sangat hampa. Semangat hidupnya telah dibawa oleh yang pergi tanpa permisi. Yang kemudian menyisakan banyak sayatan di dalam batinnya.
Aroma Fab masih membekas. Bahkan masih sangat jelas terasa di dalam ruangan penuh kenangan manis. Kemarin pagi, ia masih melihat wajah pulas itu. Kemarin pagi, masih dilihatnya Fab menyisir rambut sambil bersiul-siul. Kemarin pagi, masih didengarnya suara Fab meminta pertolongan untuk memakai dasi. Masih juga ia rasakan pelukan dan kecupan yang datang bertubi-tubi ke seluruh wajahnya. Kemarin siang, ia pun masih mendengar suara khas Fab yang mendebarkan hatinya. Dan kemarin sore semua itu dibungkus menjadi mimpi terburuk.
“Janji, ya, kita akan sama-sama terus, baik di dunia maupun di surga nanti.”
Kalimat itu menggaung begitu saja saat Sara membuka almari dan melihat jas yang dikenakan Fab saat menikah.
“Aku pengin perjodohan kita ini juga terjadi sampai di akhirat nanti. Kalau salah satu dari kita ada yang pergi, jangan ada yang nikah lagi, ya.”
Itu kalimat yang selanjutnya diutarakan Fab padanya.
Mungkinkah ucapannya hari itu adalah firasat?
“Aku janji nggak akan nikah lagi!”
Kalimat yang dulu membuat dirinya tersanjung sekarang seperti menjadi kalimat yang mampu membuat luka baru di antara luka-luka yang belum juga kering. Sara merasa dirinya terbang, kemudian tanpa aba-aba ia dijatuhkan seperti seekor burung yang kedua sayapnya patah.
“Harusnya kamu juga janji untuk nggak ninggalin aku, Fab!” isaknya seraya menciumi pakaian Fab.
Sara sangat merindukan Fab. Ingin bertemu sekarang juga.
***
Feba bisa mendengar suara Rita Sugiarto mengalun keras di dalam kamar Sara. Feba ingat betul lagu kesukaan mendiang abangnya tersebut dan di antara seluruh anggota keluarga hanya Fab yang memiliki lagu sejenis dalam ponselnya. Dan tiba-tiba saja dadanya dihinggapi kerinduan yang mendalam. Masih jelas dalam ingatannya sewaktu Fab mengatakan kenapa ia menyukai lagu-lagu dari penyanyi yang sudah lawas.
“Feba, sewaktu kecil cuma lagu-lagu ini yang didengarkan Eyang pada kami. Jadi semacam terbiasa gitu,” kata Fab waktu itu. Bahkan senyum abangnya itu masih membekas di benaknya.
“Tapi kenapa cuma abang yang suka? Bang Bian nggak segitunya sama lagu Rhoma Irama. Malah suara abang fals banget lagi, untungnya cuma nyanyi di kamar mandi.”
Feba tertawa lebar mengenangnya. Baginya, Fab adalah anak laki-laki ajaib yang pernah ia temui seumur hidupnya. Di saat Bian sudah berganti pacar lima kali, Fab masih saja menangisi mantan kekasihnya yang matre. Di saat semua orang begitu tergila-gila dengan penyanyi di negeri Hollywood, Fab malah menggilai musik dalam negeri. Dengan bangganya ia berkata kalau ia keturunan Yangku dan Yangti. Dan tidak peduli seberapa banyak Bian mengolok, Fab tidak pernah mengisi lagunya dengan lagu terkini terkecuali lagi warisan dari Yangku dan Yangti. Dan serentak Feba dan Bian menjuluki Fab sebagai makhluk zaman dulu yang terlahir kembali.
Kalau ada ... cari satu untukku … Kalau bisa kabarkan kepadaku … Untuk pacarku dunia akhirat …
Feba tersentak dari lamunan, kemudian membuka pintu kamar Sara dan mendapati kamar itu kosong. Tidak ada siapapun di sana, kecuali ponsel yang mengalunkan lagu. Feba melihatnya tergeletak di atas kasur. Ponsel yang setelah ditilik telah rusak secara fisik, akan tetapi masih bisa berguna memutar sebuah lagu berulang kali.
Lalu, ke mana Sara?
Feba mulai memandang ke sekeliling, mencari kehadiran Sara. Segala ekspektasi bermunculan. Termasuk siapa yang menyetel?
Feba menelan ludah. Getir sekali rasanya. Apa yang ia bayangkan tidak mungkin terjadi. Ponsel di dalam genggamannya tidak mungkin dinyalakan oleh si empunya. Feba merinding jadinya. Ia buru-buru menggeleng mantap, tidak boleh membayangkan hal di luar nalar.
Tak berselang lama, Feba mendengar suara keran air dinyalakan dari arah kamar mandi. Ia menghela napas lega, kakak iparnya pasti sedang mandi. Tetapi, hatinya berpendapat lain. Feba memiliki ketakutan yang berlebih mengingat bagaimana Sara begitu sangat terpukul dengan kepergian Fab.