Ketika Bian masuk kamar, Gyana sedang duduk melamun di depan meja rias. Sebelah tangannya mengangkat spons bedak, akan tetapi tak segera diusap ke wajah. Pandangan Gyana terpaku pada bayangan dirinya sendiri di cermin.
Bian menghampiri dan langsung mengecup puncak kepala Gyana. Membuat istrinya seperti tersengat listrik.
“Kenapa, Sweetu? Lagi mikirin sesuatu?” Bian belum beralih dari sisi Gyana, masih menunggu jawaban sembari menggulung lengan kemeja.
Gyana kembali menghela napas berat. Pertanyaan Bian terdengar seperti dorongan buat Gyana untuk mengungkapkan apa yang membebaninya sejak kemarin siang.
“Bi, kurasa udah sepantasnya kamu menceraikan aku terus nikah lagi.”
Bian terpaku.
“Kamu harus menikah lagi, Bi. Dengan wanita yang bisa kasih kamu anak.”
“Baiklah.” Senyum Bian mengembang dan Gyana merasa tersakiti. Bian bahkan mengedipkan sebelah mata dan kemudian berjalan ke arah ranjang sambil mengendurkan dasi dan membukanya. “Leluconmu mulai berkembang sekarang. Aku akan menikah lagi, kalau kamu maunya gitu. I’m very impressed but I hate it!”
Gyana memejam kesal. Sudah diduga Bian menganggap ucapannya barusan adalah candaan belaka. “Aku nggak bercanda, Bi. Kamu harus menikah lagi dengan perempuan yang bisa kasih kamu anak.”
Bian bisa mendengar langkah terburu-buru Gyana mendekati dan terus mengatakan kalimat yang sama padanya. Bian diam. Ia tidak ingin memperpanjangdan tidak ingin tahu mengapa istrinya seperti ini lagi. Ia harap dapat meredam emosinya dalam diam.
“Bi, kamu dengerin aku, ‘kan?”
Bian tidak merespons. Ia menyelonjorkan kedua kaki dan duduk bersandar. Diraihnya ponsel untuk mengabaikan Gyana dan segala desakannya. Barangkali ia bisa mendengarkan musik dan terlelap dalam tidur. Yang penting suara Gyana tidak terdengar lagi.
“Bi!” Gyana merebut ponsel Bian.
“Gyana!” Bian membentak.
Gyana tersentak. Jantungnya serasa mau copot saat mendengar bentakan disertai pelototan untuknya.
“Kenapa harus masalah itu terus, sih? Kenapa kamu nggak ngerti juga?”
Wajah Bian memerah. Sepasang matanya terlihat nyalang. Namun sedetik kemudian, suaranya tertahan, begitu pula kemarahannya. Bian mengepal kedua tangannya. Ia kemudian melampiaskan amarahnya dengan meninju bantal.
“Kamu yang harusnya ngertiin aku, Bi?” Kedua mata Gyana mulai berkaca-kaca. “Aku ini bukan wanita yang layak buat dampingi kamu. Aku nggak bisa kasih kamu anak. Aku ini padi gabuk yang lebih cocok dibakar. Kalau dipertahanin cuma bisa jadi sampah!”
Bian mendengus kesal. Kalimat Gyana barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Harus bagaimana lagi ia meyakinkan Gyana bahwa ia tidak memedulikan siapa Gyana sekarang. Bian meraup wajah frustrasi.
“Dengerin, aku.” Bian bangkit dan memegang kedua pipi istrinya yang banjir air mata dengan tatapan lekat.
“Aku menikahi kamu karena aku cinta sama kamu. Pernikahan kita ini adalah bentuk ibadahku kepada Tuhan. Setulus hatiku, aku ikhlas pada semua yang diberikan ataupun yang tidak diberikan-Nya ke dalam pernikahan kita. Aku ikhlas menjalani semua ketentuan-Nya, Gyana.”
Gyana menunduk, “Kamu nggak bisa—”
“Jangan, Gyana. Jangan pernah menyuruhku melakukan hal yang aku nggak ingin.”
Gyana terisak. Ia memberanikan diri menatap Bian yang tampak menangis. “Aku nggak mau jadi egois, Bi. Aku nggak mau menjadi egois dan membiarkanmu nggak punya keturunan karena aku.”
Kedua tangan Bian mengguncang wajah Gyana pelan, sementara napasnya memburu.
“Siapa yang bilang begitu? Kamu nggak egois! Aku nggak mau wanita lain di dalam hidupku kecuali kamu. Aku nggak mau wanita lain meski wanita itu bisa kasih seribu anak. Aku nggak mau wanita lain selain kamu, Gyana. Aku pengin menghabiskan seumur hidupku bersama kamu, apapun yang terjadi. Kamu ngerti itu, ‘kan? Cuma kamu tulang rusukku. Aku yakin itu,” ucapnya dengan bibir bergetar.
Gyana terisak pelan. Kepalanya menunduk, lantas air matanya menderas. Hatinya semakin kacau. Ia gamang.
Bian menarik Gyana ke dalam pelukan. “Trust me! Cuma kamu yang aku butuhkan.”