Langkah Sara begitu terburu-buru menuruni anak tangga. Seraya fokus pada langkahnya, kedua tangannya belum selesai memasang sebelah antingnya lagi. Semua orang tengah menantinya di bawah. Papi dan Mami sudah duduk dengan elegan di kursi kebesaran. Seolah sang ratu dan raja yang duduk di atas singgasananya. Gyana tengah sibuk memeriksa riasan di depan cermin. Feba tampak menggendong Anggi sementara Angga masih tampak tertidur pulas di gendongan Bi Ratih dan fotografer tampak asik mengatur kamera dan lighting.
Sebelum benar-benar bergabung, Sara sempat mengembuskan napas panjang. Dilangkahkan kakinya dengan sedikit berat.
“Dasar cewek, lama banget dandannya, sih!” cibir Feba seraya memberikan Anggi kembali pada Gyana yang sudah selesai dengan masalah wajahnya yang mulai berkeringat.
“Feba, ini pemotretan pertama si kembar, jadi semuanya harus perfect!” timpal Gyana santai.
“I know! But don’t worry sister, photoshop would do that perfectly!”
“Sesi si kembar udah selesai?” tanya Sara seraya mengambil Angga dari Bi Ratih.
Angga tampak menggeliat dalam tidurnya, Sara segera menimang agar si putra semata wayangnya tak rewel. Sedetik kemudian, Angga kembali tenang dalam pelukan. Lantas, diusapnya kepala Angga pelan seraya menahan diri untuk tidak mencium si buah hati karena enggan membuat merah lipstiknya membekas di pipi Angga.
“Lho, Bian ke mana? Malah lamaan dia dandannya, sih?” Kali ini Papi yang sewot melihat ketidakhadiran Bian.
“Tadi katanya mau ganti sama yang matching sama gaun aku, Pi,” ujar Gyana yang mengenakan gaun hijau tosca.
“Duh, Bang Bian lama deh!”
“I’m here, Guys!”
Semua orang berbalik dan menemukan sosok Bian seraya merentangkan kedua tangan dengan senyum polosnya.
Di antara pandangan orang-orang yang menghardik pada Bian, hanya Sara yang tampak terkesiap di tempat. Ditatapnya Bian dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sara lantas tersekat. Napasnya terdengar berat. Ia menatap sosok yang baru saja turun dari tangga dan berhenti di sebelah Bian. Sosok yang rupanya tak berbeda dari Bian, yang saat ini tengah tersenyum, dan melemparkan ciuman jauh hanya kepada Sara.
“Fave,” bisiknya.
“Ih! Bang, lama banget, sih!”
“Ini pemotretan si pertama si kembar, jadi aku harus kelihatan lebih tampan dari biasanya.”
“Buruan ambil posisi, Bi!”
Bian berjalan perlahan. Sementara, tatapan Sara terus mengarah pada sosok kasatmata yang sekarang tengah berdiri di sebelahnya, tersenyum, dan mengedipkan sebelah mata ke arahnya.
“Semuanya sudah siap?”
***
Sara membisu saat memandangi langit-langit kamar bayinya. Bukan untuk mengoreksi bagaimana warna yang melekat, namun untuk menahan sesuatu yang mulai menyesaki kelopak mata. Yang terus mendesaknya untuk segera dikeluarkan. Tetapi Sara memilih untuk menahannya. Ia tidak boleh menangis di depan anak-anaknya. Sara tidak ingin kelihatan rapuh.
Namun pada akhirnya, Sara tidak mampu menahan atau menghilangkan manifestasi kesedihan dan ketidakberdayaan tersebut.
Sara merasakan angin yang berembus ke permukaan wajah begitu menyejukkan. Ia sempat terbuai. Pandangannya spontan mengerling pada sosok yang baru saja datang. Yang kemudian membuat kedua matanya membelalak tak percaya.
“Fab?”
Sosok yang datang dengan senyum memenuhi wajah itu memegang tangan Sara dengan sebelah tangan. Pakaiannya putih bersih. Garis bibirnya yang tersenyum seperti membawa alunan musik klasik yang menenangkan.
Benarkah ini Fab?