Jika ada anak yang menangis meronta-ronta di pagi hari, hanya karena tidak ada roti kesukaannya di atas meja, itu adalah aku.
Jika ada anak menangis merengek minta diantarkan ke sekolah, dan setelah sampai di sekolah merengek minta dibawa pulang kembali ke rumah, itu juga aku.
Jika ada anak memecahkan kaca lemari karena keinginannya tidak dituruti, itu adalah aku.
Jika ada anak meminum air sumur mentah-mentah karena tidak mau pulang ke rumah, itu pun aku.
Aku mungkin saja, adalah anak paling keras kepala di dunia. Sampai pada suatu hari, aku termenung memandang pepohonan ekaliptus di halaman rumah, dan tiba-tiba bertanya di dalam hati, apa yang paling berharga dalam hidup ini?
*****
Bandung 2004.
“Nomor dua ratus tiga!!” Aku duduk termangu, tidak begitu yakin untuk bangkit berdiri. Bapak yang duduk di sampingku pun masih terdiam memperhatikan.
Kami sudah menunggu selama sepuluh jam lebih, dan mendengar ratusan nomer pemain dipanggil. Kini saat yang dipanggil itu adalah nomerku, rasanya seperti tidak lagi nyata. Bagaikan halusinasi.
“Sekali laagi!! Nomer dua ratus tigaa!! Segera turunn ke lapangann!!” Panggilan dari pengeras suara itu kembali menyeru, kali ini lebih kencang.
“Itu kamu Ky, ayo turun,” ujar Bapak yakin. Suaranya menggebu seperti degub jantungku yang iramanya berantakan tak beraturan.