Dua tahun kemudian.
Pintu mobil mini bus kubuka perlahan. Lalu dengan hati-hati melangkahkan kaki keluar dari dalam mobil yang berhenti tepat di depan pagar pembatas jalan tol. Aku meloncat melewati pagar pembatas. Seperti biasa angin cukup kencang di wilayah ini, mobil-mobil melintas dalam kecepatan tinggi. Aku berjalan menuju pintu masuk sebuah ruangan bercat warna biru, serasi dengan seragam yang kugunakan, kemeja biru cerah dan celana katun hitam. Ini adalah Gerbang Tol Tebet 2, merupakan pintu masuk jalan tol lingkar dalam Jakarta. Tepatnya Jakarta Selatan.
Di dalam ruangan aku menyimpan tas dan jaket di atas meja kayu. Ruangan ini terbilang cukup sempit, hanya berukuran dua kali empat meter. Di dalamnya terdapat lemari kayu, perangkat komputer, perangkat radio panggil/walkie talkie yang terhubung dengan kantor pusat dan radio petugas Polisi Patroli Jalan Tol. Selebihnya ada televisi 14 inch, kursi dan sebuah tempat tidur standard yang biasa kami gunakan untuk beristirahat ataupun tidur secara bergantian saat shift malam.
“Biasa ky ya, gerbang satu. Kembalian jangan lupa di cek lagi,” ujar Pak Lilik, Kepala Shift yang merupakan penanggung jawab Gerbang Tol Tebet 2 ini.
“Siap Pak delapan enam, semoga lalu lintasnya pagi ini sepi,” jawabku penuh harap. Kemudian mengambil sebuah kotak besi berukuran sedang dan sebuah kotak kardus berisi uang pecahan lima ribu, dua ribu, dan koin seribuan.
“Kalau yang masuk tol sepi, pemasukan perusahaan kurang dong ky. Nanti gaji kita bisa dipotong, mana cicilan gue banyak lagi.”